Referendum Aceh

Advertisement
Jejak pendidikan- Setelah Indonesia merdeka, Aceh masih terus menjadi tempat kekerasaan, baik yang dilakukan oleh yang pro pemerintah maupun yang anti pemerintah. Namun dapat dipastikan dalam hal ini, korban selalu berjatuhan dari pihak rakyat sipil. Pada tahun 1953-1959 misalnya diperkirakan ratusan rakyat menjadi korban kasus DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh di Aceh. Kekerasan juga terjadi saat peristiwa Cumbok yang menyebabkan banyak sekali Ulebalang yang diculik. Peristiwa Cumbok adalah kasus pembunuhan terhadap uleebalang di Sigli, karena kaum ulee balang berkeinginan mengembalikan kekuasaan Belanda di mana dalam masa penjajahan Belanda di Aceh, mereka sangat diuntungkan oleh Belanda dan melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Korban kekerasaan di Aceh mencapai puncaknya adalah pada masa Orde Baru.

Persoalan di Aceh dapat digolongkan dalam dua akar masalah, pertama adalah pemberlakuan Daerah Operasi Militer ( DOM ) dan tindak kekerasan militer Orde Baru (Juli 1990-Agustus 1998) maupun sesudah DOM (Agustus 1998-2000) serta tidak seriusnya pemerintahan untuk mengadili para pelaku tindak kekerasaan pada masa DOM maupun pasca DOM.

Pada awal RI terbentuk, saat negara ini belum memiliki apa-apa, rakyat Aceh melalui dukungan para ulama telah memberikan andil yang amat besar dalam membantu kelangsungan hidup republik dengan menyumbang sejumlah emas batangan dan bahkan bahu membahu membeli pesawat untuk disumbangkan kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi pengorbanan rakyat Aceh yang amat tulus kepada republik oleh sebagian masyarakat Aceh tidak mendapat balasan, karena apa yang mereka inginkan untuk mendirikan provinsi sendiri dengan status daerah istimewa dalam bidang agama, budaya dan adat istiadat, serta pendidikan waktu itu tidak dikabulkan. Pemerintah memilih menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara. 

Setelah rakyat Aceh mengadakan perlawanan baru tuntutan tersebut dipenuhi. Ini adalah awal kekecewaan dan kemarahan rakyat Aceh terhadap pemerintah, yang oleh sebagian rakyat Aceh dianggap sebagai wujud perlakuan tidak adil dalam bidang politik yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat Aceh.

Setelah runtuh kekuasaan Orde Lama, dan digantikan dengan Orde Baru, kemarahan rakyat Aceh semakin bertambah. Penyebabnya antara lain karena pembangunan dalam bidang ekonomi yang membuka kesempatan luas bagi penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Daerah Negara (PMDN) untuk dilaksanakan di Aceh, ternyata belum banyak memberikan manfaat bagi peningkatan sosial ekonomi rakyat Aceh, kekayaan alam Aceh yang melimpah diekploitasi secara besar-besaran tetapi rakyat Aceh kurang mendapatkan manfaatnya. Akibatnya sebagian besar rakyat Aceh tetap hidup terbelakang dan bodoh. Hasil kekayaan alam yang begitu besar, yang diambil dari bumi Aceh belum sepadan dengan apa yang diberikan kepada daerah sehingga daerah tersebut belum memiliki dana yang cukup untuk membangun Aceh sebagaimana yang mereka harapkan.

Kesempatan bagi rakyat Aceh untuk berusaha, dirasakan kurang banyak diberikan, baik akses dalam bidang pekerjaan, permodalan maupun peningkatan keahlian. Begitu pula penerimaan pegawai untuk mengisi lowongan kerja yang diisi oleh orang-orang dari luar Aceh. Selain itu kekecewaan-kekecewaan Aceh terhadap pemerintah pusat adalah pemerintah pusat mengeksplorasi semua kekayaan yang dimiliki Aceh. Ini terjadi sejak Orde Baru pada awal tahun 1970-an. Sebagaimana diketahui, di Aceh Utara pada akhir 1960-an ditemukan gas alam di kawasan pemukiman masyarakat Arun. Penemuan ini diteruskan dengan dibangunnya pusat-pusat investasi besar berupa PT arun (1974), PT Pupuk Asean, AAF (ASEAN Aceh Fertili Zer (1981), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) (1982), PT Kertas Kraft Aceh (KKA-1985), dan sebuah MNC yakni Mobil Oil. Wilayah ini kemudian dikemas dalam satu wilayah industri yang dinamakan ZILS (Zona Industri Lhokseumawe).

Tidak hanya itu, Aceh memang merupakan daerah modal seperti yang disebut Bung Karno, disana terdapat pusat-pusat industri, seperti kabupaten Aceh Timur (minyak tanah), Pidie (pabrik pupuk, korek api dan minyak kelapa), Kabupaten Aceh Barat (tambang emas, pabrik minyak astiri, pabrik minyak kelapa, industri kerajinan Rencong), Kabupaten Aceh Utara (gas alam, pabrik kertas, pabrik gula dan industri petrokimia), dan kabupaten Aceh besar (pabrik topi, rencong, keramik, tenun sarung).

Selain itu, hadirnya wilayah industri ini bukanlah tanpa meninggalkan masalah, rakyat Aceh tetap menjadi pihak yang dirugikan, misalnya:
Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah PT Arun pada 1972 memberikan harga antara Rp. 10,00-180,00 per meter. Sementara PT AAF memberikan harga Rp 300-350 per meter pada 1980. PT PIM memberikan harga antara Rp 800,00-1200,00. Sebagian masyarakat ditakut-takuti untuk menyerahkan tanah dengan menggunakan pihak militer dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik maupun non fisik. Pengusiran penduduk asli Aceh akibat tanahnya digusur. Eksploitasi pusat atas Daerah Istimewa Aceh. Adanya kecemasan bagi entitas lokal terhadap program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Akumulasi perasaan kecewa karena diperlakukan tidak adil, telah mendorong sebagian rakyat Aceh tidak lagi mampu menahan marah, sehingga terpaksa mengangkat senjata sebagai ungkapan protes mereka terhadap pemerintah. Dalam perkembangannya, kemudian mereka mendirikan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, sikap perlawanan dari sebagian rakyat Aceh tersebut ditanggapi oleh pemerintah Orde Baru dengan pengiriman TNI ke Aceh untuk memadamkan pemberontakan yang dianggap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

Gerakan Aceh Merdeka sudah ada sejak 4 Desember 1976. Tetapi, ketika itu, pertarungan antara anggota GAM dengan TNI hanya terjadi sebatas kedua belah pihak yang bertikai. Artinya dampak negatifnya kepada rakyat sipil tidak terlalu banyak. Akan tetapi baru pada tahun 1989, rakyat sipil merasakan betapa menderitanya mereka akibat konflik GAM-TNI tersebut. Hal ini berawal dari terjadinya perampasan 18 pucuk senjata anggota TNI yang sedang melakukan program ABRI Masuk Desa (AMD) di kota Makmur, Aceh UtaraDi tahun 1989 itu, seorang anggota Kopassus yang desertir berpangkat kopral tiba-tiba muncul dan menyebut dirinya sebagai Panglima Perang GAM. Kopral ini menyebut dirinya sebagai Robert. Robert inilah yang kemudian berhasil mengkondisikan lahirnya DOM, di daerah Aceh yang sangat kaya akan gas alam, hutan dan berbagai kandungan mineral lainnya. 

Gubernur Aceh saat itu Ibrahim Hasan merasa terganggu akibat ulah GAM yang dimotori Robert hingga ia melaporkan situasi daerahnya kepada Presiden Soeharto. Saat itu juga presiden memerintahkan Panglima ABRI waktu itu Try Sutrisno agar mengendalikan situasi Aceh. Hanya saja, saat diklarifikasikan DPR pada awal Desember 1999, Try Sutrisno membantah, jika disebutkan di Aceh telah diberlakukan DOM, yang ada hanya Operasi Jaring Merah untuk menumpas Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka. Dalam forum itu, anggota DPR sempat pula mempertanyakan, siapa sesungguhnya Robert dan tak seorang pun petinggi militer Orde Baru itu menjelaskan. Operasi Jaring Merah ini hanya terfokus di tiga daerah rawan konflik yaitu Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie, karena diberlakukannya Operasi Jaring Merah tersebut maka Aceh di Sebut Daerah Operasi Militer sejak itu mulai dikenal istilah DOM.

Dilihat dari segi politik kenapa diberlakukannya DOM di Aceh adalah perpecahan dalam kubu TNI yang saat itu dipimpin oleh Jendral Beny Moerdani di mana saat itu akan digantikan oleh Prabowo Subianto yang saat itu menjadi menantu presiden Soeharto. Ketika akhirnya pemilihan Wakil Presiden di mana Soeharto mencalonkan Sudharmono untuk menjadi Wapres kemudian Beny mencalonkan Jaelani Naro yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PPP untuk menjadi Wapres akan tetapi pemilihan tersebut akhirnya menetapkan bahwa Sudharmono menjadi Wapres dari sini pula awal hubungan Soeharto dan Beny Moerdani Menjadi buruk. Kemudian Beny Moerdani yang kecewa terhadap pemerintahan Soeharto saat itu secara diam-diam mendukung pasukan GAM yang bermarkas di Malaysia karena Prabowo Subianto dikirim ke Aceh sebagai Kepala Kostrad pada periode 1989-1999. keberadaannya di Aceh ini guna menekan Beny Moerdani dan beberapa faksi militer yang tidak sejalan dengan Soeharto.

Oleh karena kegiatan GAM di tanah Serambi Mekah terus meningkat intensitasnya dan tampaknya mendapat dukungan serta simpati dari sebagian masyarakat Aceh, untuk menghentikannya serta mencegah meluasnya pengaruh GAM ke dalam masyarakat, TNI terpaksa memberlakukan Daerah Operasi Militer di daerah tersebut.

DOM dengan Operasi Jaring Merah di daerah Aceh telah diberlakukan sejak tahun 1989, yang pada mulanya diperuntukkan mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah sebagai GAM, yang selanjutnya disebut GPK. Namun sejak operasi tersebut diberlakukan, ternyata yang terjadi bukan hanya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang begitu nyata, seperti tindak kekerasaan yang berlangsung itu dirasakan sendiri oleh masyarakat. DOM menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan traumatik, sebab apapun ABRI cenderung bertindak semena-mena terhadap rakyat Aceh yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GPK/GAM.

Menjadikan suatu daerah menjadi DOM memang belum pasti menyelesaikan masalah, apalagi mengingat daerah Aceh begitu kuat kultur keagamaan dan adat istiadatnya. Seharusnya untuk menyelesaikan permasalahan Aceh harus terlebih dahulu memanfaatkan jasa para ulama, tokoh adat dan pemerintah setempat. Apapun alasannya, akibat diberlakukannya Operasi Jaring Merah (OJM) dan dijadikannya DOM di Aceh telah menimbulkan pelanggaran hukum dan HAM. Status DOM di Aceh dicabut pada 8 Agustus 1998 oleh Pangab/Menhankam Jenderal TNI Wiranto di masjid Baiturrahman Lhokseumawe. Pencabutan ini disambut oleh masyarakat di beberapa tempat, saat memperingati Maulid Nabi masyarakat melaksanakan sujud syukur.

Rakyat Aceh juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang dianggap telah ikut mencabut DOM. Akan tetapi pencabutan DOM ini baru tahap awal. Rakyat Aceh masih harus berjuang lagi untuk menegakkan hukum akibat pelanggaran HAM. Kasus-kasus harus diusut dan ditindak lanjuti sampai tuntas. Selaku pimpinan ABRI, Wiranto memutuskan bahwa keamanan Aceh sepenuhnya diserahkan kepada rakyat Aceh sendiri, yaitu kepada para ulama, para tokoh masyarakat, para guru, pejabat pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Pangab harus meminta maaf kepada seluruh masyarakat Aceh atas tingkah laku prajurit ABRI jika telah melukai hati rakyat Aceh selama mereka melaksanakan operasi penumpasan GPK di Aceh sejak beberapa tahun.

Pasca pencabutan DOM, rakyat juga menuntut dampak yang ditimbulkan oleh DOM. Rakyat Aceh dengan dukungan masyarakat intelektualnya tidak pernah berhenti menuntut ditegakkannya hak-hak manusia di Aceh ini. Pada masa Presiden Habibie, kepala negara tersebut menyampaikan penyesalan sedalam-dalamnya atas pelanggaran hak asasi manusia di beberapa daerah yang dilakukan oleh oknum petugas dalam operasi menghadapi gerakan separatis. Ditetapkannya Aceh sebagai daerah operasi militer adalah suatu keputusan politik. Karenanya pencabutan DOM harus diikuti dengan pertanggungjawaban politik, hukum dan sosial ekonomi dari pemerintah. Pertanggungjawaban politik yang dimaksud adalah pemerintah harus mengakui bahwa operasi militer di Aceh itu salah, kemudian mengeluarkan daftar orang-orang yang bertanggung jawab serta mengumumkan langkah-langkah apa yang diambil pemerintah dengan kesalahan itu. Akan tetapi, nyatanya pemerintah tidak melakukan pertanggung jawaban politik tersebut baik hukum maupun sosial.

Kemudian pasca pencabutan DOM hingga Desember 1998, karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menangani para pelanggar HAM, dan kemudian pemerintah pusat kembali memasukkan ratusan pasukan ke Aceh maka muncul tentang ide merdeka yang disosialisasikan oleh Gerakan Aceh merdeka. Gagasan ini, akhirnya mendapat dukungan yang cukup besar dari masyarakat Aceh terutama dari daerah-daerah bekas diberlakukannya DOM. Gagasan GAM ini dilakukan dengan cara rapat-rapat akbar yang umumnya mengundang banyak Teungku (ulama) yang merupakan penganut GAM. Respon yang diberikan masyarakat cukup kuat.

Kemudian selain opsi merdeka, ada 3 macam aspirasi yang hidup dalam masyarakat Aceh. Pertama merdeka, yakni lepas dari negara Indonesia dan mendirikan negara Aceh yang berdaulat lazimnya seperti negara-negara lain di dunia. Kedua referendum, yakni rakyat Aceh secara demokratis diberi pilihan, merdeka atau tetap bagian dari dan hidup dalam negara Indonesia. Ketiga otonomi khusus, yakni rakyat Aceh diberikan hak seluas-luasnya dan sesuai dengan kehendak mereka mengatur dan mengurus dirinya, mengeksploitasi dan mengolah sumber daya alam untuk kesejahteraan dan kemakmuran mereka dan siapapun yang tinggal dan hidup di Aceh Menuju Referendum Aceh 3 Februari 1999, gagasan referendum dimunculkan oleh Kongres Mahasiswa Aceh Serantau. 

Referendum mereka artikan sebagai cara untuk mengembalikan kedaulatan Aceh (Aceh Merdeka). Untuk sosialisasi gagasan ini dibentuklah SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh), SIRA merupakan salah satu lembaga gerakan sipil masyarakat Aceh yang berjuang terlaksananya referendum opsi Merdeka di Aceh. Lembaga ini dideklarasikan dalam sebuah pertemuan atau kongres yang melibatkan 106 lembaga pemuda, mahasiswa, dan santri baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh. Pertemuan itu diberi nama KOMPAS, atau Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau yang dilaksanakan pada 31 Januari sampai 4 Februari 1999. Sejak itu masyarakat mulai mengenal referendum. Gagasan ini kemudian tersebar di level masyarakat, dan gerakan atas tuntutan terhadap dua opsi ini, yaitu merdeka atau referendum semakin meluas dan mengakar tidak hanya sebagai tuntutan semata akan tetapi mengalami pergeseran-pergeseran ke arah gerakan yang sebenarnya.

Pada 8 November 1999 rakyat Aceh yang dikomandoi oleh SIRA melakukan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) yang dihadiri oleh sekitar 1,5 juta jiwa. Sebelumnya, tepatnya pada 14 September 1999, SIRA bersama dengan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) meresmikan papan nama referendum yang isinya adalah dua opsi yaitu merdeka atau tetap dalam NKRI dan saat itu Gus Dur pun hadir, dan kemudian Gus Dur meresmikan papan nama tersebut, dan ikut hadir juga Amien Rais. Kedua tokoh tersebut pada tahun 1999 terpilih menjadi tokoh sentral politik di Indonesia, Abdurrahman Wahid menjadi presiden sedangkan Amien Rais menjadi Ketua MPR. Inilah problema penyelesaian Aceh, di satu sisi, Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur pada waktu itu secara pribadi meresmikan dan menyetujui referendum dengan opsi merdeka, akan tetapi pada saat ia menjabat sebagai presiden RI justru ia tidak menyepakati opsi merdeka untuk perjuangan dan penyelesaian kasus Aceh.


Sumber:
  1. Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh, (Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003),
  2. Musni Umar (ed), Aceh Win-Win Solution, (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002),
  3. Al chaidar, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer di Aceh 1989-1998, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998),
  4. Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001),
  5. Neta S. Pane, Sejarah dan Kemakmuran Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001),
  6. Rahadi Wiratama Teguh, et.al. Supremasi Sipil, pelembagaan Politik dan Masalah Integrasi Nasional: Masalah Krusial Konsolidasi Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2003),

Subscribe to receive free email updates: