Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan

Advertisement
Jejak Pendidikan- Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1947. Kemerdekaan tersebut terdorong oleh kejadian sejarah lain, yaitu kekalahan tentara Nippon dalam perang Asia Timur Raya melawan sekutu, pimpinan Amerika Serikat. Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diketahui oleh masyarakat Aceh pada tanggal 21 Agustus 1945, berkat adanya informasi dari Ghazali Yunus dan kawan-kawan yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei, kantor penerangan Jepang (Hodoko) dan Atjeh Sinbun. Berita kemerdekaan ini disambut gegap gempita oleh rakyat Aceh.

Dalam perkembangan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Aceh merupakan wilayah yang mempunyai andil cukup besar bagi pertumbuhan Republik Indonesia. Ketika pertama kali Bung Karno datang ke Aceh mengadakan pertemuan empat mata dengan Gubernur Militer Aceh Teungku Daud Beureuh untuk mengumpulkan dana buat pembelian pesawat terbang, masyarakat Aceh dengan tangan terbuka dan kerelaan menerimanya. Pada tahun 1948, Bung Karno datang ke Aceh untuk kedua kalinya dengan meminta Teungku Daud Beureuh agar rakyat Aceh mengambil bagian yang aktif dalam perjuangan melawan Belanda. Persetujuan ini dilakukan dengan syarat agar setelah perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh dibolehkan menjalankan syariat Islam.

Akan tetapi, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak dikabulkan. Bahkan otonomi Aceh dihapuskan dan Teungku Daud Beureuh dicurigai. Perjuangan rakyat Aceh berpuluh-puluh tahun melawan Belanda tak dapat dikatakan mempunyai dasar lain kecuali mempertahankan agama, sehingga perang melawan Belanda itu dinamakan perang sabil yaitu perang mempertahankan agama Allah, dan mereka yang tewas dalam perang tersebut dianggap mati syahid. Perang Aceh yang dahsyat itu berlangsung selama 31 tahun
yang berakhir pada tahun 1904 dengan kemenangan Belanda, akan tetapi dalam hatinya rakyat Aceh masih belum menerima kekuasaan Belanda. Ternyata beberapa kali setelah tahun 1904, terjadi pemberontakan terhadap Belanda, misalnya di Bakongan antara tahun 1925-1927, di Lhong pada tahun 1933.

Kemudian pemberontakan Aceh yang paling besar terhadap Belanda adalah ketika pemerintah Belanda menghadapi musuh dari luar yaitu Jepang pada waktu Perang Pasifik, sehingga ketika bala tentara Jepang masuk ke Aceh, mereka tidak menemui perlawanan lagi dari tentara Belanda yang sudah lebih dahulu pergi untuk menyelamatkan diri. Dilihat dari inilah Bung Karno meminta Aceh untuk berperang aktif dalam melawan Belanda karena keteguhan hati mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan dan Islam.

Kemerdekaan Indonesia disambut oleh rakyat Aceh dengan gegap gempita. Mereka bertekad akan mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan merdeka atau mati syahid. Mereka berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kemerdekaan sehingga rencana Belanda hendak menduduki Aceh tidak dapat terlaksana. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini para ulama berada di garis depan. Setelah kemerdekaan, di Aceh berkumandang seruan-seruan rakyat agar hukum-hukum Islam dilaksanakan sepenuhnya. Akan tetapi pemimpin-pemimpin Aceh melihat waktunya belum tepat untuk memenuhi tuntutan rakyat tersebut. Karena itu ketika Bung Karno meminta rakyat Aceh untuk berperang aktif melawan Belanda, Teungku Daud Beureuh selaku wakil rakyat Aceh meminta agar setelah perjuangan selesai Aceh dibolehkan menjalankan Syariat Islam. Permintaan ini pun disanggupi oleh Bung Karno. Tetapi setelah perjuangan selesai Bung Karno tidak menepati janjinya. Ini dibuktikan oleh pidato presiden Sukarno di Amuntai yang menyatakan tidak menyukai lahirnya negara islam dari Republik Indonesia, hal ini membuat kecewa rakyat Aceh yang telah diberi janji, padahal Aceh tidak berniat untuk mendirikan Negara Islam, mereka hanya ingin menjalankan Syariat Islam.

Kekecewaan rakyat Aceh sampai ke telinga Imam NII Kartosuwiryo, yang segera mengirim seorang utusannya Abdul Fatah alias Mustafa, untuk mendekati para pemimpin Aceh pada awal tahun 1952. Melalui Abdul Fatah, Kartosuwiryo mengirimkan sebuah salinan dakwahnya tentang gerakan DI/TII, dan mengajak para pemimpin Aceh untuk bergabung. Ajakan ini mendapat sambutan baik di Aceh.

Akibat pencabutan Aceh sebagai daerah otonom yang luas dan hanya diberi status karesiden inilah, akhirnya hubungan antara Aceh dengan pemerintah pusat merenggang, dan terjadilah keinginan untuk membentuk Negara Islam Aceh pada tahun 1953, yang kemudian dikenal dengan pemberontakan Daud Beureuh. Unsur kekecewaan daerah terhadap pusat inilah yang melatarbelakangi mengapa Daud Beureuh mendirikan Negara Islam.

Pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletuslah suatu peristiwa yang merupakan suatu tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Oleh pemerintah pada waktu itu, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, peristiwa ini dinamakan peristiwa Daud Beureuh atau pemberontakan Daud Beureueh. Sedangkan rakyat Aceh menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa berdarah. Pada tanggal tersebut, Daud Beureuh, seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat, mantan Gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, mengangkat senjata terhadap pemerintah pusat dan memproklamasikan Aceh sebagai negara Islam.

Daud Beureuh bersikeras bahwa tidak ada penyelesaian apapun sampai pemerintah pusat mengakui hak rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam di daerah itu. Untuk mendukung pendapatnya, Daud menegaskan bahwa Islamlah yang mendorong para ulama berjuang dalam pemberontakan itu, dan karena Islam pula mereka mendesak rakyat supaya berpartisipasi. Karena memang tuntutan rakyat yang ingin menjalankan syariat Islam inilah awal mula peristiwa Daud Beureuh terjadi.

Untuk menandai lahirnya sejarah baru itu tidak diadakan suatu rapat umum atau upacara yang meriah. Sebagai gantinya, hanya naskah proklamasi dan sebuah keterangan politik yang dibacakan dan disebarkan di Indra Puri, sebuah kampung di sebelah selatan Kutaraja. Adapun isi naskah tersebut adalah:

PROKLAMASI
Berdasarkan pernjataan Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21 Sjawal 1368/7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwiryo atas nama umat islam Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi sebagian dari pada Negara Islam Indonesia.
Atas Nama Umat Islam
Daerah Atjeh dan Sekitarnya
TTD
Teungku Muhammad Daud Beureuh
Tertanggal:
Atjeh Darus’salam:
13 Muharram 1373
21 September 1953

Namun demikian, naskah-naskah ini sebenarnya bukanlah merupakan suatu tanda pembukaan lembaran baru sejarah Aceh, sebab pemberontakan itu telah dimulai sehari sebelum proklamasinya sendiri. Kerumunan-kerumunan rakyat dengan bendera Tentara Islam Indonesia (TII), yang dilengkapi senjata tajam serta satu atau dua pucuk senjata api, terlihat di kampung-kampung sepanjang jalan raya dan jalan kereta api. Mereka sedang bersiap-siap menyerang kota di sekitarnya. Keadaan menjadi begitu kacau, dan jam malam diberlakukan di kotakota. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh agar menjauhkan diri dari Darul Islam dan tetap setia kepada pemerintah yang sah. Namun demikian, seruan tersebut tidak membantu pemerintahan daerah yang telah kacau tersebut.

Setahun setelah peristiwa Daud Beureuh, muncullah peristiwa Pulot-Cot Jeumpa pada bulan Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar. Bulan Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan peristiwa 11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman tentara republik di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Sehingga karena peristiwa Mar ini, tidak ada seorang pun yang mau menamai anaknya dengan awalan atau akhiran “Mar” di Aceh. Tidak ada nama-nama seperti Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, dan ini berlangsung dalam beberapa tahun. Peristiwa ini masih berhubungan dengan peristiwa Daud Beureuh. Pada suatu hari di bulan maret 1954, dalam rangka operasi militer mengejar pemberontak. Sebuah iring-iringan truk militer melewati desa kecil. Sesampainya di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak iring-ringan militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak, tembak menembak terjadi antara militer dengan pemberontak. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak, sedang segerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua kampung yang kemudian namanya menjadi tenar itu.

Hari itu juga diadakan operasi besar-besaran dalam Kampung Pulot dan Cot Jeumpa, dalam rangka mengejar pemberontak yang diduga keras bersembunyi di sekitar kampung tersebut. Di sinilah mulainya sikap tentara yang sewenang-wenang. Rakyat menjadi korban karena mereka tidak tahu menahu tentang para pemberontak. Tentara yang tidak mendapatkan jawaban-jawaban mengenai pemberontak menjadi marah, dan tentara menembakkan peluru senjatanya ke arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Inilah awal mula perilaku tentara yang semena-mena terhadap rakyat.

Peristiwa Pulot Cot Jeumpa, cepat tersiar ke seluruh pelosok Indonesia. Selanjutnya kabinet mengirim menteri-menteri untuk mempelajari dari dekat peristiwa tersebut. Dewan Keamanan Nasional ikut membicarakan, anggota parlemen Sutarjo menganjurkan agar soal penyelesaian pemberontakan Darul Islam diarahkan kepada putera Aceh sendiri, dan kepada para pemimpin pemberontakan diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan baikbaik, artinya harus dilakukan penyelesaian secara damai dan bijaksana.

Selanjutnya pada 13 April 1954, pemerintah memberi keterangan dalam rapat paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa. Dari keterangan pemerintah, diambil kesimpulan bahwa dalam penyelesaian peristiwa Daud Beureuh ini pemerintah mengambil tindakan kekerasan senjata untuk mengatasi para pemberontak yang memberontak dengan senjata terhadap pemerintah RI. Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 1959, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan otonom yang luas, khususnya dalam urusan agama, adat dan pendidikan, sebagai tonggak sejarah dari perkembangan masyarakat Aceh sejak tahun 1950-an, yang diawali dengan pergolakan berdarah menuju ke zaman pembaharuan dan zaman kemajuan.

Untuk mencapai lahirnya propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebelumnya telah dilakukan beberapa usaha untuk memulihkan keamanan di Aceh oleh pemerintah pusat. Pada masa pemerintah Ali Sastroamidjojo dalam usahanya memulihkan keamanan di Aceh telah memilih tindakan kekerasaan senjata dengan harapan bahwa kaum pemberontak dapat ditumpas pada akhir tahun 1953 atau paling lambat pada bulan Maret 1954. Ternyata sampai kabinet Ali jatuh pada tahun 1955 keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Setelah itu, kabinet Burhanuddin Harahap, mencoba pemulihan keamanan dengan cara halus. Ia berusaha melakukan kontak dengan para pemberontak, tetapi usaha tersebut tidak berhasil. 

Bahkan pada tahun 1955, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengirim dua kurirnya Abdullah Arif dan Hasbullah Daud untuk melakukan kontak dengan para pemimpin pemberontak namun tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1957 Kolonel Sjamaun Gaharu Panglima KDMA (Komando Daerah Militer Aceh) mengadakan kontak dengan pihak pemberontak, dan usaha tersebut berhasil.

Kemudian diantara pemimpin-pemimpin pemberontak terdapat suatu kesepakatan yang kemudian terkenal dengan Ikrar Lam Teh, pada 8 April 1957. Atas dasar Ikrar Lam Teh ini tercapai pula suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan KDMA untuk menghentikan tembak menembak atau gencatan senjata. Gencatan senjata ini berjalan sampai tahun 1959. Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 1959, Dewan Revolusi mengadakan musyawarah dengan pemerintah RI yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, musyawarah pun berhasil dan memutuskan sejak tanggal 26 Mei 1959, menyatakan bahwa daerah Swatantra tingkat I Aceh dapat disebut Daerah Istimewa Aceh.

Dari berbagai peristiwa, dapat dilihat bahwa pendirian yang kuat para tokoh Aceh yang didukung oleh ulama dan masyarakatnya, untuk menuntut keistimewaan Aceh akhirnya dapat dibuktikan oleh sejarah. Status keistimewaan Aceh ini kemudian diinformasikan melalui UU No 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah di mana Aceh memperoleh keistimewaan di bidang agama, adat dan pendidikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1979 gagasan NAM (Negara Aceh Merdeka) dimunculkan oleh tokoh yang berasal dari Tiro bernama Dr. Hasan Tiro. Ia lahir di desa Tiro, dekat Lammeulo di Pidie. Pada masa Belanda ia adalah salah seorang murid Daud Beureuh di madrasah Blang Paseh di Sigli, sedangkan pada masa pendudukan Jepang ia belajar di Perguruan Normal Islam. Sesudah proklamasi ia berangkat ke Jogjakarta untuk belajar di fakultas hukum Universitas Islam Indonesia. Ia kembali ke Aceh sebentar untuk bekerja pada pemerintahan darurat Sjafruddin Prawiranegara. Kembali ke Jogjakarta, ia menjadi salah seorang dari dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia, yang pada tahun 1950 menerima beasiswa untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas Columbia. 

Di Amerika Hasan Tiro bekerja pada dinas penerangan delegasi Indonesia di PBB.61 Dia datang ke Aceh dari Amerika dan mengatakan akan mendirikan NAM. Ada dugaan bahwa lahirnya kelompok Hasan Tiro, dengan ide NAM, maupun kemudian munculnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang sering disebut oleh pemerintah dan sebagian masyarakat Aceh waktu itu, terkait dengan mulai hilangnya keistimewaan Aceh sebagai sebuah wilayah yang otonom. Pemerintah pusat mengambil posisi tegas dengan lahirnya NAM yang dianggap sebagai GPK. Mereka dihilangkan dan Dr. Hasan Tiro melarikan diri ke
luar negri. Selang 10 tahun kemudian (1987-1990), muncul kembali peristiwa-peristiwa gangguan keamanan dengan munculnya kembali GPK-GPK pada tahun itu.

Penumpasan dilakukan, berkaitan dengan keharusan adanya keamanan di Aceh pada umumnya dan daerah industri untuk membangun dan mengeksplorasi kekayaan alam, dan menjaga agar investasi asing masuk ke Aceh. Sejak itulah Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh dari tahun 1990-1998.


Rujukan:
  1. Al chaidar, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer di Aceh 1989-1998, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998),
  2. Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: Cita Panca Serangkai 1993),
  3. M. Nur EL Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta: Gunung Agung 1982),
  4. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1990),
  5. A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, (Bulan Bintang: Jakarta 1985),
  6. Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1995), h. 301

Subscribe to receive free email updates: