Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya

Advertisement
Jejak Pendidikan- Indonesia merupakan salah satu Negara besar dengan kepualuaan yang tidak kurang berjumlah 17.000 pulau. Dari kepulauan itu, Indonesia diperkaya oleh suku, adat istiadat, bahasa dan juga agama serta kepercayaan yang ada. Bahkan dalam sebuah film berjudul “Tanah Surga, Katanya” dikatakan bahwa Indonesia yang luas itu tidak bisa diurus dalam satu hari, tapi butuh proses yang tidak sebentar. Kekayaan Indonesia belum cukup di situ saja, kekayaan sumber daya alam yang melimpah juga patut untuk dibanggakan.

Mulai dari satwa langka yang kini diakui sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia yaitu komodo, hingga satwa dan flora yang hingga kini belum diberi nama pun juga ada di kepulauan Indonesia. Kekayaan Indonesia yang luar biasa tersebut rupanya timpang bila kita paradox kan dengan kebiasaan jam karet yang menjadi budaya di Indonesia. Dikatakan membudaya karena kebiasaan ini dilakukan tidak hanya di kalangan atas saja, melainkan mulai dari lembaga terkecil sampai lembaga tertinggi.

Sebut saja jadwal rapat mahasiswa, di kantor, di universitas sampai pada siding yang dilakukan oleh anggota dewan dan pemerintah pusat sekalipun, jam karet tidak dapat dihindarkan. Entah apakah ini merupakan sebuah budaya baik yang harus dipertahankan atau budaya buruk yang harus ditinggalkan, namun budaya jam karet telah menjadi suatu kepastian di negeri ini.

Kepastian yang membudayakan ini menjadikan waktu seperti permainan bagi masyarakat Indonesia. Jika selama ini
dikatakan bahwa zaman yang mengatur hidup manusia, tapi tidak dengan masyarakat Indonesia, merekalah yang mengatur zaman. Menarik memang membahasakan waktu bagi masyarakat Indonesia, karena faham telat itu sudah masuk ke dalam pola piker dan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dihindarkan.

Waktu sendiri didefinisikan sebagai masa. Masa di mana kita melakukan aktivitas keseharian, mengukir prestasi dan mencipta sejarah. Dan masa sebagai waktu yang lampau seakan terus dikenang dan diceritakan meskipun satu detik yang lalu, karena kita tidak akan pernah dapat mengembalikannya.

Eropa biasanya memaknai waktu sebagai uang, sebagaimana ungkapan “time is money”. Pemaknaan demikian sehingga mereka teramat saying untuk membuang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, karena sama saja dengan menghambur-hamburkan uang atau menyianyiakan kesempatan untuk menghasilkan uang. Wajar, apabila mereka di dalam setiap kesempatan untuk berbicara atau melakukan kegiatan mereka menimpalinya

dengan pernyataan, “sorry, I am busy”. Berbeda dengan masyarakat Negara Timur Tengah, mereka memiliki semboyan yang juga tidak kalah bermaknanya dengan Eropa. Mereka menilai waktu sebagai pedang, “al-waqtu kas-saif”. Pemaknaan demikian memiliki penjelasan bahwa bagi masyarakat Arab waktu itu laksana sebuah senjata yang dapat membunuh apabila tidak dapat menggunakannya dengan tepat. Kehati-hatian mereka menggunakan waktu tersebut, sehingga bagi mereka waktu harus dapat di-manage, diatur dan dibagi sesuai kapasitasnya.

Masyarakat Indonesia sendiri mewakili entitas melayu lebih unik dalam mendefinisikan waktu. Banyak semboyan yang menunjukkan ke arah pemaknaan tersebut. Misalnya dalam masyarakat Jawa sering sekali diucapkan sebuah falsafah “alonalon asal kelakon”, kalau dalam masyarakat global Indonesia kita juga sering mendengar istilah “biar lambat asal selamat”, “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Kesemua istilah ini apabila kita rumuskan mengenai pemaknaan waktu bagi masyarakat Indonesia adalah ketelitian, lamban, suka menunda, atau dapat pula bermakna terlalui menghargai waktu.

Menarik memang membahas persoalan menghargai waktu di Indonesia. Kita mungkin pernah hadir dan datang dalam sebuah acara resmi baik skala lokal, Nasional atau bahkan Internasional yang permasalahan waktu tanpa terasa dan mau tidak mau harus diakui bahwa itu ngaret. Mulai dari persiapan pelaksana kegiatan, undangan kehormatan, sampai pada peserta dapat menjadi alasan sebuah waktu kegiatan yang telah ditentukan menjadi mundur untuk beberapa saat. Dan hal itu pun ditanggapi sebagai sebuah kewajaran, sehingga ekspresi orang-orang di dalamnya seperti biasa dan tidak ada masalah. Maka muncul sebuah ungkapan klasik, “masih menunggu pemateri, masih menunggu pembuka acara, atau bahkan yang lebih ekstrim yaitu maaf, masih menunggu peserta di jalan”.

Inilah identitas ke-Indonesia-an kita dalam menanggapi sebuah permasalahan mengenai waktu. Maka, kajian pada artikel ini akan coba mengungkap, mendeskripsikan dan mengurai alasan atau sudut pandang ke-Indonesia-an dalam budaya “jam karet”. Karena mau tidak mau budaya ini sudah melekat dan menjadi mind-stream masyarakat Indonesia. 
artikel selanjutnya baca disini !!!!!


Penulis:
Siti Laitatul Hajar
Anggota Bidang Penelitian Kualitatif LKP2M 2013
Mahasiswa Jurusan BSI Semester VII

Subscribe to receive free email updates: