Pengertian Budaya Religius

Advertisement
Jejak Pendidikan- Istilah budaya mula-mulah datang dari disiplin Ilmu Antropologi Sosiologi. Apa yang tercangkup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartika sebagai; pikiran; adat istiadat; suatu yang sudah berkembang; sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalam pemakaian sehari-hari orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari kelompok dalam masyrakat tersebut.

Tradisi berasal dari bahasa Inggris, tradition yang berarti kebiasaan, yakni sesuatu yang secara terus-menerus dilakukan dalam kehidupan, selanjutnya menjadi identitas seuah masyrakat. Di dalam bahasa Arab, tradisi bisa mengandung arti, yaitu al-uruf, yakni tradisi atau kebiasaan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan masyrakat, dan al-adat, yakni kebiasaan yang sudah dibiasakan, baik kebiasaan tersebut positif maupun negatif. 

Adapun kebiasaan yang buruk harus dihentikan dengan cara yang bijaksana dan tidak menumbulkan goncangan atau akibat yang ebih buruk. Selanjutnya kebiasaan yang baik di dalam hadits, biasa disebut pula as-Sunah, yakni segala sesuatu yang sudah dibiasakan atau dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, karena didalamnya mengandung niali-nilai positif.

Koentjaraningrat mengelompokkan aspek-aspek budaya berdasarkan dimensi wujudnya, yaitu:
  1. Kompleks gugusan atau ide seperti pikiran, pengetahuan, nilai, keyakinan,, norma, dan sikap.
  2. Kompleks aktivis seperti pola komunikasi, tari-tarian, upacara adat.
  3. Material hasil benda seperti seni, peralatan dan lain sebagainya.


Sedangkan menurut Robert K. Marton diantara segenap unsur-unsur budaya tersebut unsur yang terpenting yaitu kerangka aspirasi tersebut, dalam artian ada nilai budaya yang merupakan konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran.

Agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harusadaproses ainternalisasi budaya. Dalam bahasa Inggris, internalized berarti to incorporate in oneself. Jadi, internalisasi berariproses menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing, dan sebagainya.68 Selanjutnya adalah proses pembentukan budaya yang terdiri dari sub-proses yang saling berhubungan antara lain kontak budaya, penggalian budaya, seleksi budaya, pemantapan budaya, sosialisasi budaya, internalisasi budaya, perubahan budaya, pewarisan budaya yang terjadi dalam hubungannya dengan lingkungannya secara terus menerus dan berkesinambungan.

Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, sedangkan keberagamaan atau religiositas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati  nurani pribadi dan karena itu, religiositas lebih dalam dari agama yang tampak formal.

Istilah nilai keberagaman merupakan istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti, ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan. menurut rokkah dan bank bahwasanya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek.

Sedangkan keberagamaan merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama. Menurut Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Ari Ginajar, terdapat beberapa sikap religius yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya. diantaranya: kejujuran, keadilan, bermanfaat bagi orang lain, rendah hati, bekerja efisien, visi ke depan, disiplin tinggi, keseimbangan Sebagai pemecahan masalah yang di mana sesungguhnya pendidikan agama Islam tersebut sanggat erat hubungannya dengan nilai-nilai, baik nilai Ilahi maupun insani. 

sebagaimana rumusan tujuan PAI di sekolah yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah, yaitu budaya yang merupakan sekumpulan dari nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh seluruh pelaku dalam proses berjalannya suatu pendidikan dalam sebuah lembaga, sebab itu budaya tidak hanya berbentuk simbolik semata sebagaimana yang tercermin di atas, tetapi di dalamnya penuh dengan nilai-nilai. perwujudan budaya juga tidak hanya muncul begitu saja, tetapi melalui proses pembudayaan. 

Koentjoroningrat menyatakan proses pembudayaan dilakukan melalui tiga tataran yaitu: Pertama, tataran nilai yang dianut, yakni merumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan disekolah, membangun komitmen dan menjalankannya secara bersama-sama. Kedua, tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian. Ketiga, tataran simbol-simbol budaya, yaitu mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis, seperti:
  1. senyum, salam, sapa (3s).
  2. saling hormat dan toleran.
  3. puasa senin kamis
  4. shalat dhuha
  5. tadarrus al-qur’an
  6. istigasah dan do’a bersama.


Nilai-nilai sebagaimana yang terdapat di tujuan tersebut harus diinternalisasikan serta dikembangkan dalam budaya komunitas sekolah. dalam melakukan proses pembudayaan nilai-nilai agama tersebut dituntut komitmen bersama di antara warga sekolah dan dengan berbagai strategi yang digunakan sesuai dengan karakteristik dari visi misi lembaga tersebut, dan tentunya dengan tujuan agar terwujudnya visi misi lembaga tersebut.



Rujukan:
  1. Koentjoroningrat, kebudayaan, mentaliet dan pembangunan, (jakarta: gramedia, 1974).
  2. J.P. Kotter & J.L. Heskett, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja. Terjemahan oleh Benyamin Molan (Jakarta: Prenhlm.lindo,1992).
  3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).
  4. Soekarti Indrafachrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orangtua Murid dan Masyrakat (Malang: IKIP Malang, 1994).
  5. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010).
  6. Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia (Jakarta: Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Seni, No 2, 1969).
  7. Fernandes, S.O, Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, (NTT:Nusa Indah. 1990).
  8. Talizhidu Dhara, Budaya Organisasi (Jakarta: Rineka Cipta, 1997).
  9. Geertz Hofstede, Corperate Cultur of Organization, (London Francs Pub.1980).
  10. Ari Ginanjar Agustian, Rahasia sukses mebangkitkan ESQ power, sebuah inner journey melalui ihsan, (Jakarta: ARGA, 2003).

Subscribe to receive free email updates: