Tokoh Pendidikan Islam Klasik

Advertisement
Jejak Pendidikan- Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang sangat ideal, Pendidikan islam tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. 

Berkaitan dengan itu pula pendidikan islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan terus menerus pasca generasi Nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya, pendidikan islam terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum maupun dari segi lembaga pendidikan islam yang dimaksud.

Pendidikan Islam berkembang dengan pesat sejak dari peninggalan Rasulullah hingga sampai pada masa kita saat ini. Banyak para tokoh Pendidikan Islam yang tampil sebagai pembaharu, dalam tulisan ini dibedakan menjadi dua generasi, yaitu:Pertama generasi klasik terdiri dari tokoh di luar Indonesia, Kedua generasi modern dikhususkan dalam Negara Indonesia. Berikut akan dijelaskan secara mendalam.

Berikut uraian seluruh biografi tokoh-tokoh pendidikan Islam:

Imam Ghazali

a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghozali. Ia dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058 M. Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.

Al-Ghazali pada masa kanak-kanak belajar fiqh kepada Ahmad ibn Muhammad ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam Abu Nashr al-Ismaili. Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang diperolehnya dari Jurjan.

baca juga (biografi al-Ghazali)

b. Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada Perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebagaimana yang dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam Ghazali berpendapat “sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.

Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti tradisi umum kaum sufi. Memeng ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi, ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas pemakaian terma Ma’rifahuntuk konsep (tasawuf), dan ‘ilm untuk assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya, ia sering memakai dua terma itu sebagaiu arti yang sama. 


Ibn Sina

a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah.[7] Di barat populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, Suatu kota termasyhur dikalangan orang-orang Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M) alam usia yang ke 58 tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar. 

Tampilnya Ibn sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung oleh tempat kelahirannya sebagai ib kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagi pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang luas biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sina memuylai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhoro. 

Pengetahuan yang pertama kali ia pelajar adalah membaca Al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun. 

b. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu:

  1. ilmu yang tak kekal
  2. ilmu yang kekal
ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.

Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu  :

  1. Diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik perkembangan fisik, intelektual maupun budi pekerti.
  2. Diarahkan pada upaya dalam rangka mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
  3. Tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan, yang artinya mencetak tenaga pekerja yang profesional.

Ibn Khaldun

a. Riwayat Hidup
Di tengah konflik yang terjadi diantara Kerajaan-kerajaan kecil, Kerajaan bani Abdul Wad Az-zanatiyah terkena musibah dan bencana yang berasal dari Kerajaan tetangganya, yakni Kerajaan Bani Hafzh yang berada di Tunisia.

Dalam suasana seperti itu ibn Khaldun lahir di Tunisia, awal Ramadhan tahu 732 H, dari kjeluarga besar berbangga dengan nasab Arabnya yang berasal dari Hadromaut, Yaman.

Ibnu Khaldun tumbuh dan berkembang sebagai orang yang mencintai ilmu. Pertama-tama ia menghafal Al-Qur’an lewat bimbingan ayahnya sendiri. Lalu ia mempelajari ilmu Hadits, ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Bahasa, Sastra, Sejarah, selain mempelajari Filsafat dan Ilmu Mantiq (logika).

b. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Khaldun tidak memberikan defenisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan ibnu Khaldun bahwa “barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barang siapa yang tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mangajarkannya.”

Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut priunsip keseimbangan. Dia inginanak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. 

Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan perinsip-perinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.

Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada aqal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas.

Ikhwan as-Shafa

a. Riwayat Hidup
Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan) adalah organisasi dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyahsekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah buku yang sangat mereka hormati “Kalilah wa Dimnah”.

Kemunculan Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia, disebabkan kekhawatiran akan tindak penguasa waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang timbul.

Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, ahli pencita kebenaran, elit intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militant untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.

b. Pemikiran Pendidikan
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme.

Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.




Bahan Rujukan: 



  1. Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, (alih bahasa Masturi Irham, Lc Dkk), (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsal, 2012
  2. Jalaluddin & Usman Said, 1999. Filsafat Pendididikan Islam. Jakarta, PT. Raja Grafindo
  3. Kurniawan. Samsul dan Erwin Makhrus, 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam .Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
  4. Mohammad. Herry, 2006. Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh di Abad 20. Jakarta: Gema Insani Press.
  5. Al-Abrasyi. Muhammad ‘Athiyyah, 2003. At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (terjemah Abdullah Zaki Al-Kaaf: Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam). Bandung : Pustaka Setia.
  6. Aly. Herry Noer, 2003. Transformasi Otoritas Keagamaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  7. Anwar. Saeful, 2007. Filsafai Ilmu Al-Ghazali. Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka setia.



Subscribe to receive free email updates: