Problematika Bimbingan dan Konseling

Advertisement
Jejak Pendidikan- Problematika bimbingan dan konseling bukan disebabkan faktor eksternal, tetapi pada dasarnya, bersumber dari faktor internalnya. Bimbingan dan konseling hingga kini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pandangan ini timbul karena kurangnya profesionalitas dan dedikasi yang tinggi dari orang-orang yang menekuni bidang bimbingan dan konseling. Macam-macam problematika bimbingan dan konseling menurut Rahdzi adalah sebagai berikut:

problematika Eksternal (Masyarakat)

Problematika dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di masyarakat pada dasarnya disebabkan adanya pandangan keliru dari masyarakat. Pandangan tersebut diantara nya sebagai berikut:

a) Layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah pelayanan harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahlian itu diperoleh dari pendidikan dan pelatihan yang cukup lama di perguruan tinggu serta pengalamanpengalaman.

b) Bimbingan dan konseling hanya untuk orang yang bermasalah saja
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tugas utama bimbingan dan konseling adalah membantu dalam menyelesaikan masalah. Akan tetapi, peranan BK itu sendiri adalah melakukan tindakan preventif agar masalah tidak timbul dan melakukan tindakan antisipasi agar masalah yang sewaktu-waktu datang tidak berkembang menjadi masalah yang besar. Seperti halnya dengan semboyan “Mencegah itu lebih baik dari pada mengobati”.

c) Keberhasilan layanan bimbingan dan konseling bergantung pada sarana dan prasarana
Sering kali ditemukan pandangan bahwa keahlian seorang konselor disebabkan ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan mutakhir. Seorang konselor yang kinerjanya dinilai tidak bagus sering berdalih bahwa ia kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang bagus dan lengkap. Sebaliknya, pihak klien pun terkadang juga terjebak dalam asumsi bahwa konselor yang hebat itu terlihat dari sarana dan prasarana yang dimiliki konselor. 

d) Konselor harus aktif, sedangkan klien harus/boleh pasif
Sering ditemukan bahwa klien menyerahkan penyelesaian masalahnya sepenuhnya kepada konselor. Mereka menganggap bahwa itulah kewajiban konselor. Terlebih lagi, jika dalam pelayanan BK tersebut, klien harus membayar. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak jarang seorang konselor yang membuat klien menjadi sangat bergantung kepadanya. Konselor terkadang mencitrakan dirinya sebagai pemecah masalah yang handal dan dapat dipercaya. Konselor seperti ini biasanya berorientasi pada ekonomi, bukan pengabdian. Tak jarang ia enggan melepaskan kliennya sehinnga ia merekayasa untuk memperlambat proses penyelesaian masalah.

e) Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera terlihat
Seringkali klien (orang tua/ keluarga klien) yang berekonomi tinggi memaksakan kehendak kepada konselor untuk menyelesaikan masalahnya secepat mungkin, tak peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Tidak jarang konselor secara sadar atau tidak sadar dengan menyanggupi permintaan klien dengan suatu tujuan tertentu. Bahkan ada seorang konselor yang mempromosikan dirinya mampu menyelesaikan masalah dengan cepat dan tuntas. Padahal pada dasarnya orang yang mampu menganalisis besar/kecilnya masalah dan cepat/lambatnya proses penanganan masalah adalah konselor, karena ia memahami landasan dan kerangka teoritik BK serta mempunyai pengalaman dalam penanganan masalah yang sejenisnya.

Problematika Internal (Konselor)

Masalah yang timbul dari luar sebenarnya berasal dari diri konselor itu sendiri. Pandangan para konselor yang salah tentang BK menyebabkan mereka salah langkah dalam memberikan pelayanan BK. Beberapa pandangan menuurut para konselor adalah sebagai berikut:

1) Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater
Dalam hal tertentu, memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan klien/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah klien/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis, ataupun penyembuhannya.

Meskipun begitu, pekrjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikoater bekerja dengan orang sakit, sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat), namun sedang mengalami masalah. Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberika cara–cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguat mental/psikis, dan modifikasi perilaku. 

2) Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Walaupun masalah yang dihadapi klien sejenis atau sama, penyelesaiannya tetap saja tidak bisa disamaratakan. Cara apa pun yang akan dipakai untukmengatasi masalah harus sesuai dengan kepribadian klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak ada suatu cara yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam ternyata hakikatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Harus dipahami bahwa setiap manusia itu berbeda dalam kepribadian dan kemampuannya sehingga dalam penyelesaian masalah harus disesuaikan dengan keadaan klien. Bahkan, jika seorang konselor ingin mengadopsi cara/teknik penyelesaian dari konselor lain, ia juga harus menyesuaikan dengan kemampuan konselor itu sendiri (yang mengadopsi).

3) Bimbingan dan konseling mampu bekerja sendiri
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sart dengan unsure-unsur budaya, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor harus bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapai oleh klien.

Namun demikian, konselor tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. sebagai tenaga professional, konselor harus terlebih dahulu mampu bekerja sendiri, tanpa harus bergantung pada ahli atau petugas lain.

4) Bimbingan dan konseling dianggap sebagai proses pemberian nasihat semata.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan berupa pemberian nasehat. Sebab, pemberian nasehat hanyalah merupakan sebagaian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Misalkan, ketika menghadapi klien yang suka mabuk, pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya memberkan penekanan/nasehat bahwa mabuk itu tidak baik. Pelayanan yang seharusnya adalah menggali factor-faktor luar yang menyebabkan klien tersebut menjadi suka mabuk

Problematika Dalam Dunia Pendidikan

Problematika utama dalam pelaksanaan BK di dunia pendidikan juga disebabkan adanya kekeliruan pandangan. Berikut ini beberapa kekeliruan pandangan BK dalam pendidikan 

1) Bimbingan dan konseling hanya sebagai pelengkap kegiatan pendidikan.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling hanyalah pelengkap dalam pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling. Karena dianggap sudah implicit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebgai pelaksana nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah.

Kendati begitu, bukan berarti BK dan pendidikan harus dipisahkan. Pada hakikatnya dua unsur ini saling membutuhkan dan saling melengkapi. Bimbingan dan konseling memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan, yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaanya hanya terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, yang masing-masing memiliki karakteristik tugas, dan fungsi yang khas dan berbeda.

2) Guru bimbingan dan konseling disekolah adalah “polisi sekolah”.
Masih banyak yang beranggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah”. Hal ini disebabkan pihak sekolah sering menyerahkan sepenuhnya masalah pelanggaran kedisiplinan dan peraturan sekolah lainnya kepada guru bimbingan konseling. Bahkan, banyak guru BK yang diberi wewenang sebagai eksekutor bagi siswa yang bermasalah. Dengan demikian, banyak sekali kita temukan disekolah-sekolah yang menganggap guru BK sebagai guru yang “killer” (ditakuti). Guru bk bukan untuk ditakuti, tetapi untuk disegani, dicintai, dan diteladani.

Jika kita analogikan dengan dunia hokum, konselor harus mempu berperan sebagai pengacara, yang bertindak sebagai sahabat kepercayaan, tempat mencurahkan isi hati dan pikiran. Konselor adalah kawan pengiring, petunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan dan Pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapapun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberik harapan.

Kendati demikian, konselor juga tdak bisa membela/memlindungi siswa yang memang jelas bermasalah. Konselor hanya boleh menjadi jaminan penangguhan hukuman/pemaafan baginya. Siswa yang salah, tetaplah salah. Hukuman boleh saja tidak diberikan, bergantung pada besar kecilnya masalah.

3) Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan konseling tidak hanya diperuntukan pada siswa yang bermasalahan atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun, bimbingan dan konseling harus melayani seluruh siswa. Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama,melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.

Masalah utama yang dihadapi BK saat ini adalah timbulnya persepsipersepsi keliru dari beberapa kalangan akan arti dan hakikat bimbingan dan konseling. Langkah selanjutnya adalah mengubah persepsi kalangan tersebut agar sesuai hakikat bimbingan dan konsling itu sendiri. Hal ini tentunnya dengan cara pemberian materi yang lebih baik kepada konselor agar para konselor benar-benar memahami hakikat dari BK, yang kemudian menindak lanjuti dengan bersosialisasi kepada masyarakat.

Jika pandangan masyarakat tentang BK sudah berubah, tentunya pelaksanaan BK akan semakin mudah., bahkan menjadi salah satu kebutuhan utama, yang keberadaannya benar-benar menjadi vital dalam suatu lingkungan (sekolah, dunia kerja, organisasi, dan masyarakat).

Alternatif Pemecahan Problem Bimbingan

Masalah-masalah yang melingkupi pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah begitu beragam sehingga alternative pemecahan masalah tersebut harus sesuai dengan masalahnya. Menurut pandangan Nurul Muallifah dkk, beberapa tema masalah yang ada disekolah yang berkaitan dengan pelaksanaan bimbinga konseling diantaranya adalah:

1) Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah
Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan sekolah. Anggapan ini adalah “Barang siapa diantara siswa-siswa yang melanggar peraturan dan disiplin sekolah, ia harus berurusan dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian.

Konselor ditugaskan mencari siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bersalah. Konselor didorong untuk mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengakui bahwa ia telah berbuat sesuatu yang salah. Misalnya, konselor ditugasi mengungkapkan siswa mengakui bahwa ia mengomsumsi narkoba atau minuman keras dan sebagainya. Dalam hubungan ini, pengertian konselor sebagai mata-mata yang mengintip gerak-gerik siswa.

Berdasarkan pandangan diatas, wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa kedatangannya kepada konselor menunjukan aib dirinya, bahwa ia telah berbuat salah, atau hal-hal negatif lainnya. Padahal sebaliknya, dari segenap anggapan yang merugikan itu, konselor haruslah menjadi teman yang bisa dipercaya siswa. 

Disamping petugas-petugas lainnya di sekolah, konselor hendaknya menjadi tempat curahan kepentingan siswa, apa yang terasa dihati dan terpikirkan oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah pengawas atau pun polisi sekolah yang selalu mencurigai dan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring, petunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan Pembina tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan dan konseling hendaknya menjadi si tawar si dingin bagi siapa pun yang datang kepadnya.

Dengan pandangan, sikap, penampilan dan ketrampilan konselor, siswa atau siapapun yang berhubungan dengan konselor, akan memperoleh suasana sejuk dan memperoleh harapan.

2) Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasehat.
Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping memerlukan nasehat, pada umumnya klien, sesuai dengan problem yang dialami klien, memrlukan pelayanan lain seperti pemberian informasi, penempatan, dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalih tangan kepada petugas yang lebih berwenang dan ahli, layanan kepada orang tua siswa dan masyarakat, dan sebagainya. Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta menyinkronasikan upaya yang satu dan upaya lainnya sehingga keseluruhan upaya itu menjadi suatu rangkaian yang terpadu dan berkesinambungan.

3) Bimbingan dan konseling dibatasi hanya pada menangani masalah yang bersifat incidental.
Pada hakikatnya, pelayanan BK menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu, konselor sebaiknya tidak hanya menunggu klien datang dan mengungkapkan masalahnya. Konselor harus terus memasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling, serta mampu melihat hal-hali tertentu yang perlu diolah, ditanggulangi, diarahkan, dibangkitkan, dan secara umum diperhatikan demi perkembangan segenap individu.

4) Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja.
Bimbingan dan konseling tidak mengenal penggolongan siswa-siswa, sehingga golongan siswa tertentu memperoleh pelayanan yang lebih dari golongan yang lainnya. Semua siswa mendapat hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan dan bimbingan konseling. Kapan, bagaimana, dan dimana pelayanan itu diberikan, pertimbangannya semata-mata didasarkan atas sifat dan jenis masalah yang dihadapi serat ciri-ciri pribadi siswa yang bersangkutan. Konselor membuka pintu yang selebarlebarnya bagi siapa saja yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling.

Kalau pun ada, penggolongan tersebut didasarkan atas klasifikasi masalah (seperti bimbingan konseling pendidikan, jabatan/pekerjaan, keluarga/perkawinan), bukan atas dasar kondisi klien (misalnya jenis kelamin, kelas sosial/ekonomi, agama, suku, dan sebagainya). Lebih jauh, klasifikasi masalah itu mengarah pada spesialisasi keahlian konseling tertentu sesuai dengan permasalahan yang ada.

5) Bimbingan dan konseling melayani “orang sakit” dan “kurang normal”.
Ada asumsi bahwa bimbingan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu. Bukankah jika segenap fungsi yang normal dapat berjalan dengan baik, apabila dia dapat menjalin kehidupannya secara normal pula? Kehidupan yang normal ini pasti menuju kebaikan dan kewajaran. Sayangnya, bekerjanya fungsi-fungsi yang sebenarnya normal itu kadang-kadang terganggu atau arahnya tidak tetap sehingga memerlukan bantuan konselor agar kegiatan fungsi-fungsi tersebut lbih lancar dan terarah.

Lain hal nya jika klien ternyata mengalami kondisi yang abnormal, apalagi kalau sudah bersifat seperti sakit jiwa, maka klien tersebut sudah sepantasnya mendapat pelayanan bantuan dari psikiater. Akan tetapi masalahnya adalah kebanyakan dari para konselor terlalu cepat menyimpulkan atau menyangka klien tersebut mengalami gangguan kejiwaan, sehingga tanpa pertimbangan matang menghentikan pelayanan-bimbingan dan konseling dan menyarankan kepada klien tersebut untuk menemui psikiater.

Hal ini tentu saja keliru dan bahkan berbahaya. Karena klien yang sebenarnya tidak mengalami gangguan kejiwaan dikirim oleh konselor ke dokter atau psikiater. Dalam hal ini akan mengakibatkan seorang klien akan menganggap seorang konselor sebenarnya tidak ahli dalam melayani dan enggan untuk mempercayainya. Konselor yang memiliki kemampuan yang tinggi akan mampu mendeteksi dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap dan kurang mantapnya fungsi-fungsi yang ada pada klien, sehingga dapat memutuskan apakah klien perlu dikirim kepada dokter/psikiater atau tidak. Penanganan masalah oleh ahlinya secara tepat akan memberikan jasmani yang lebih kuat bagi keberhasilan pelayanan.

6) Bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja.
Pada umumnya, usaha pemberian bantuan memang diawlai dengan melihat gejala-gejala dan keluhan awal yang disampaikan klien. Namun demikian, jika pembahasan masalah itu dilanjutkan, didalami, dan dikembangkan, ternyata bahwa masalah yang sebenarnya jauh lebi luas dan lebih pelik dari pada apa yang sekedar tampak atau dismpaikan. Bahkan kadang-kadang, masalah yang sebenarnya terjadi berbeda dengan yang tampak ata di sampaikan oleh klien. Konselor tidak boleh terpukau oleh keluhan atau masalah yang disampaikan klien pertama kali. Konselor harus mampu menyelami sedalm-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.

Dari beberapa contoh pemikiran alternative pemecahan masalahmasalh dalam pelaksanaan bimbingan konseling pada intinya, masalah harus segera diaatasi, karena kemungkinan setiap hal yang negative akan terus berkembang pada tingkat negative yang lebih berat lagi. Oleh karena itu, agar bimbingan dan konseling senantiasa efektif dan berkembang lebih baik, ketiga unsur yang ada dalam konseling tersebut harus ditinjau ulang, baik secara teori ataupun praktik. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasikan kesalahapaham pemaknaan yang tentu saja akan berdampak pada praktiknya.


Sumber:

  1. Anas Salahudin., “Bimbingan & Konseling”, (CV Pustaka Setia: Bandung) , 2010
  2. Wardati, M.Pd.& Mohammad Jauhar, S.Pd., “ Implementasi Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah”, (jakarta :Prestasi Pustakaraya), 2011,
  3. Prayitno dan Erman Amfi, “Dasar-Dasar Bimbingan Konseling”, (Jakarta: Rineka Cipta). 1995,
  4. Ghufron, M. Nur dan Rini Risnawita S., “Teori-Teori Psikologi”, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media), 2014,


Subscribe to receive free email updates: