Langkah-langkah Pembangunan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) part 1

Advertisement
Langkah-langkah Pembangunan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Menurut Ary Ginanjar Agustian
http://fahrizal91.blogspot.co.id/
http://fahrizal91.blogspot.co.id/
Berdasarkan pendapat Ary Ginanjar Agustian di atas, bahwa emotional spiritual quotient (ESQ) adalah kecerdasan yang bertujuan untuk membangun kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) secara terintegrasi dan berkesinambungan sesuai dengan ajaran Islam atau yang lebih dikenal dengan The ESQ Way 165. Maka langkah-langkah dalam pembangunan emotional spiritual quotient (ESQ) didasari oleh nilai-nilai ihsan, rukun iman dan rukun Islam, berikut penjelasannya:
A.  Zero Mind Proses (Penjernihan Emosi)
Langkah pertama dalam pembangunan emotional spiritual quotient (ESQ) adalah Zero Mind Proses yang sering dikenal dengan kejernihan hati, yaitu mencoba mendefinisikan beberapa hal yang menjadi sumber kehancuran manusia dengan tujuh belenggu yang terdapat dalam diri manusia atau upaya untuk mengenali dan menghapus apa yang menutupi potensi dalam hati, sehingga spiritual power akan muncul. Dari sinilah awal kecerdasan spiritual mulai terbangun. Manusia di sini memiliki nilai yang satu bersifat universal dan ihsan (indah). Hasil akhir yang diharapkan pada langkah ini adalah lahirnya alam bawah sadar yang jernih dan suci, atau suara hati yang terletak pada god spot, yaitu kembali pada hati yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu Belenggu-belenggu tersebut yaitu:
1) Prasangka
Salah satu faktor yang mempengaruhi keobjektifan seseorang dalam melihat suatu hal, yaitu adanya prasangka-prasangka atau dugaan-dugaan orang tersebut. Orang yang sering dipengaruhi oleh prasangka-prasangka yang buruk atau negatif, maka ia sering terjerumus dalam kesalahan. Tindakan seseorang itu sangat bergantung dengan alam pikirannya masing-masing, dan salah satu faktor yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan. Apabila lingkungan seseorang itu tidak baik, maka ia pun menjadi tidak baik, selalu curiga, dan seringkali berprasangka negatif kepada orang lain. Sebaliknya jika lingkungannya baik atau, maka ia pun menjadi baik, dan memiliki prasangka-prasangka yang baik pula.

2) Prinsip-prinsip Hidup
Beberapa dekade ini kita melihat berbagai prinsip hidup yang menghasilkan berbagai tindakan manusia yang begitu beragam. Seperti paham Peter Drucker dalam bukunya “Management by Objective” yang dikutip Ary Ginanjar Agustian ternyata hanya menghasilkan budak-budak materialis di bidang ekonomi, efisiensi, dan teknologi, tetapi hatinya kekeringan dan tidak memiliki ketentraman batin. Ada juga suatu prinsip ketika era krisis ekonomi, yakni tidak ada persahabatan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Prinsip seperti ini sungguh melawan suara hati
manusia yang sebenarnya sangat memuliakan arti persahabatan, tolong menolong dan kasih sayang antar sesama. Prinsip-prinsip di atas umumnya berakhir dengan kegagalan, baik kegagalan lahiriah atau kegagalan batiniah, karena prinsip-prinsip tersebut bertentangan dengan suara hati nurani, sehingga akan menimbulkan kesengsaraan atau bahkan kehancuran.

3) Pengalaman
Pengalaman-pengalaman hidup atau kejadian-kejadian yang dialami seseorang akan sangat berperan dalam menciptakan pemikiran seseorang, sehingga membentuk suatu “paradigma” yang melekat di dalam pikirannya. Seringkali paradigma itu dijadikan sebagai suatu “kaca mata” dan sebuah tolok ukur bagi dirinya atau untuk menilai lingkungannya, Sehingga melihat sesuatu secara subjektif. Hal ini akan menjadikan dirinya terkungkung dan kadang tidak menyadari sama sekali bahwa alam pikirannya terganggu.

4) Kepentingan dan Prioritas
Setiap orang mempunyai kepentingan di dalam menentukan pilihan hidupnya, namun sering kali mereka terjebak dengan kepentingan-kepentingan yang salah di dalam mengambil keputusan. Prinsip yang keliru, karena ia telah mengingkari hati nuraninya sendiri. Setiap prinsip akan melahirkan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan prioritas apa yang akan didahulukan.

5) Sudut Pandang
Dalam melihat sesuatu yang sama, orang satu dengan yang lain biasanya mempunyai tanggapan atau pendapat yang berbeda. Hal ini dikarenakan mereka mempunyai sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang seseorang dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya, yakni pengalaman, pengetahuan dan lingkungan. Oleh karena itu, maka ia harus melihat secara objektif dan komprehensif, bukan dengan satu sudut pandang saja.

6) Pembanding
Maksud pembanding di sini yaitu mengubah prinsip tanpa mempelajarinya atau dalam istilah fiqih adalah taqlid buta. Orang tersebut selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain atau ia ikut-ikutan. Sehingga orang tersebut selalu dalam kebingungan di dalam menentukan sesuatu atau melangkah.

7) Literatur
Bacaan adalah sumber pengetahuan, ilmu dan berbagai hal mengenai kehidupan. Cara pandang seseorang juga dipengaruhi oleh apa yang mereka baca. Jika apa yang dibaca mengatakan salah, maka seseorang akan terpengaruh untuk mengatakan salah, sebaliknya, jika bacaan tersebut menganggap benar, maka seseorang tersebut akan menganggapnya benar. Sehingga, seringkali orang terjebak dalam kesalahan dan tidak punya prinsip yang jelas. Oleh karena itu bacaan yang menjadi tuntunan yang benar adalah yang berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadis bukan bacaan yang berlandaskan akal atau suatu paham kepercayaan masyarakat tertentu yang salah.[1]




[1] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient The ESQ Way 165: 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Penerbit Arga, 2005), hlm. 66 – 101.

Subscribe to receive free email updates: