Konsep Pembentukan Kepribadian Peserta Didik Perspektif al-Ghazali

Advertisement
Jejak PendidikanKarya al-Ghazali yang berisi tentang pendidikan akhlak khususnya terdapat pada Iḥyâ Ulûm al-Dîn, Fâtiḥat al-Ulûm, Mîzân al-Amal, Mi'râj al-Sâlikîn, dan Ayyuhâ al-Walad. Pemikiran al-Ghazali sejalan dengan filsafatnya yang religius dan sufistik. Dalam karyanya Mîzân al-Amal dan Iḥyâ Ulûm al-Dîn, al-Ghazali membangun etika mistik yang orisinil.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan Quasem yang dikutip oleh M. Amin Abdullah, teori etika yang diajukan oleh al-Ghazali adalah hasil dari tahun-tahun akhir kehidupannya ketika sedang menjalani kehidupan mistik. Perhatian utama kehidupan dan pemikirannya selama periode sufi adalah kesejahteraan manusia di akhirat. Untuk meraih tujuan awal itu, al-Ghazali lebih memilih mencari fondasi etika religius dan mistik dalam psikologi manusia daripada mencari lewat rasio manusia. M. Amin Abdullah menambahkan, belakangan akan diketahui bahwa al-Ghazali menggunakan konsepsi falâsifah tentang psikologi.

Dalam buku Mi'râj al-Sâlikîn, al-Ghazali membagi unsur manusia menjadi tiga, yakni: nafs, rûh, dan jism. Sedangkan dalam buku Rauḍah al-Ṭâlibîn wa Umdat al-Sâlikîn, unsur manusia ada empat yakni nafs, rûh, qalb, dan aql. Jadi, bangunan keilmuan al-Ghazali kaitannya dengan potensi manusia didasarkan pada empat potensi, yakni: rûh, jasad, qalb, aql, dan nafs. Paradigma keilmuan al-Ghazali ini berpengaruh besar dengan kajian tentang manusia relasinya dengan interaksi internal diri sendiri maupun interaksi eksternal pihak lain dan bagaimana proses interaksi ini dapat dipertanggungjawabkan secara baik di hadapan Allah Swt.

Potensi kepribadian manusia dibagi menjadi tiga yaitu al-nafs al-nabâtiyah, al-nafs al-ḥayawâniyah, dan al-nafs al-insâniyah. Ubaidillah Achmad menjelaskan bahwa proses kerja dari ketiga bagian ini yaitu:

  • Dapat dipahami dari pertumbuhan fisiologis yang ditentukan oleh unsur materi.
  • Perkembangan psikologis nilai-nilai keutamaan dan kebaikan sangat ditentukan oleh kesucian dan ketajaman immateri.
  • Kualitas keseimbangan antara pertumbuhan fisiologis dan keseimbangan psikologi manusia sangat terkait dengan peran nafsu, baik syahwat maupun gaḍâb (al-nafs al-ḥayawâniyah).

Dalam mengembangkan aspek epistemologi kepribadian individu, masing-masing tokoh mengembangkan teorinya berdasarkan aspek ontologis berupa filosofi keilmuan yang diyakini oleh setiap tokoh. Perbedaan ontologi di antara para tokoh secara otomatis menghasilkan kekhasan gagasan yang terangkum dalam sebuah teori. Imam al-Ghazali terbukti menganut filsafat manusia di luar arus utama psikolog modern. Sebagaimana diurai oleh Harun Nasution yang disarikan oleh Yadi Purwanto, bahwa Imam al-Ghazali telah banyak mengemukakan tentang struktur psikis manusia berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran dengan pendekatan filsafat.

 Hal ini juga menampik asumsi berbagai pihak dari kalangan cendekiawan bahwa Imam al-Ghazali hanya berfokus pada pengamalan tasawuf (tasawuf 'amali). Faktanya, uraian John L. Espositi yang dikutip oleh Yadi Purwanto, Imam al-Ghazali menjadi bagian dari kelompok minor kalangan sufi yang menguraikan tentang struktur psikis manusia perspektif tasawuf dalam tataran teoritis (tasawuf nazari) di dalam magnum opusnya Iḥyâ' Ulûm al-Dîn.

Menurut al-Ghazali, jalan menuju ma‟rifat adalah perpaduan antara ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moral. Ringkasan al-Ghazali patut disebut berhasil dalam mendeskripsikan jalan menuju Allah. Ma‟rifat menurut versi al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqâmat) dan keadaan (aḥwal). Oleh karena itu, al-Ghazali mempunyai jasa-jasa besar dalam dunia Islam karena al-Ghazali mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam yaitu tasawuf, fikih, dan ilmu kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan ketegangan.

Bangunan pemikiran al-Ghazali tentang sumber potensi kepribadian berdasarkan rûh, jasad, qalb, aql, dan nafs. Kelima unsur ini harus dikembangkan secara seimbang berdasarkan tuntunan qalb yang dituntut selalu bermusyawarah dengan aql sehingga nafsu seksual (syahwat) dan nafsu agresi (gaḍâb) berada di bawah kendali perintah aql. Dalam Iḥyâ Ulûm al-Dîn, syahwat dan gaḍâb dikendalikan oleh petunjuk al-hikmâh, yakni di bawah petunjuk akal dan syariat. 

Adapun tugas-tugas guru menurut al-Ghazali di antaranya ialah mendidik peserta didik dengan belas kasih sebagaimana mendidik anak sendiri, tidak mengajar kecuali diniatkan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt., tidak menjelekkan ilmu di luar yang diajarkannya di depan peserta didik, memperingatkan peserta didik dengan bahasa halus atau tidak secara jelas, menyampaikan pelajaran sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik, dan tugas atau adab pendidik yang terakhir adalah pendidik harus mengamalkan ilmunya serta perkataannya tidak bertentangan dengan perilaku kesehariannya.

Demikian tugas-tugas pendidik yang dapat dihubungkan dengan profesionalisme guru. Dalam konteks membentuk kepribadian peserta didik, profesionalisme guru diantaranya ditunjukkan dengan sikap kasih sayang dalam menghadapi peserta didik, memperingatkan dengan cara halus, dan mengamalkan ilmu dalam perilaku sehari-hari. Poin yang terakhir ini sesungguhnya sebagai bekal guru menjadi sosok yang diteladani peserta didik. Singkat kata, guru yang telah mengamalkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang diajarkan kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari akan lebih kuat pengaruhnya pada perilaku peserta didik daripada guru yang lemah pengamalan ilmunya.

Sudut pandang yang digunakan al-Ghazali dalam menguraikan soal potensi rûh, jasad, qalb, „aql, dan nafs adalah Psikosufistik. Psikosufistik sendiri ialah aliran psikologi Islam yang memiliki perspektif dalam memahami manusia dari unsur psikis yang dinyatakan teks wahyu al-Qur‟an yang dielaborasi dengan sistem pengalaman sufistik para sufi agung dalam membentuk kehendak dan perilaku yang baik.

Sejauh ini term psikosufistik baru ditemukan dalam buku “Suluk Kiai Cebolek dalam Konflik Keberagamaan dan Kearifan Lokal” dan sebuah laporan riset yang berjudul “Teori Kehendak Perspektif Psikosufistik al-Ghazzali: Menjawab Kesedihan dan Persoalan Kejiwaan Manusia”. Kedua buku tersebut merupakan karya Ubaidillah Achmad selaku eksponen al-Ghazali. Lebih lanjut, sebenarnya konsep-konsep bangunan keilmuan psikosufistik hampir sama dengan Psikologi Kepribadian Islam yang diuraikan dalam bab sebelumnya. Akan tetapi, letak perbedaannya adalah Psikologi Kepribadian Islam merupakan bangunan psikologi Islam secara umum sedangkan psikosufistik merupakan bangunan keilmuan yang berasal dari bangunan pemikiran al-Ghazali.

Adapun implikasi konsep empirisme dalam dunia ilmu pengetahuan dan penelitian adalah timbulnya konsep bahwa aturan bersumber dari nilai (core values), tidak sebaliknya nilai muncul dari aturan-aturan yang dibuat.


Rujukan: 

  1. Al-Ghazali, Mi'râj al-Sâlikîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994).
  2. Al-Ghazali, Rauḍah al-Ṭâlibîn wa „Umdat al-Sâlikîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
  3. Ubaidillah Achmad, “Kritik Psikologi Sufistik Terhadap Psikologi Modern: Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazali dan Descrates”, Konseling Religi, (Vol. II, No. 1, Januari/2011).
  4. Sulaiman Dunya, al-Ḥaqîqah fî Naẓri al-Gazâlî, (Mesir: Dâr al-Ma'ârif, 1971).
  5. Yadi Purwanto, Epistemologi Psikologi Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2007).

Subscribe to receive free email updates: