Biografi KH. Hasyim Asy'ari

Advertisement

Nasab dan Keluarga KH. Hasyim Asy'ari

Jejak Pendidikan- Nama lengkap Hasyim Asy'ari adalah Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim yang mendapat julukan Pangeran Bona bin Abdul Rahman yang mendapat julukan Jaka Tingkir, Sultan Hadi Wijaya bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishaq dari Raden Ainul Yaqin yang terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Hasyim Asy'ari lahir dari keluarga elit kiai Jawa pada 24 Dzul Qa'dah 1287 / 14 Februari 1871 di desa Gedang, sebuah desa yang berjarak sekitar dua kilometer sebelah timur Jombang. Ayahnya bernama Asy'ari adalah pendiri pesantren Keras (desa di sebelah selatan Jombang). Sementara kakeknya, kiai Usman adalah pendiri pesantren Gedang yang didirikan pada abad ke-19. Kiai Asy'ari merupakan santri kiai Usman yang kemudian dinikahkan dengan Halimah (putri kiai Usman).

Hasyim asy'ari menikah tujuh kali selama hidupnya, dan semua istrinya merupakan putri kiai. Diantaranya Khadijah putri kiai Ya'qub (pengasuh pesantren Siwalan Panji), Nafisah putri kiai Romli (pesantren Kemuring Kediri), Nafiqah putri kiai Ilyas (Siwulan, Madiun), Masrurah putri saudara kiai Ilyas (pesantren Kapurejo Kediri). Hasyim Asy'ari menikah tujuh kali bukan dalam satu waktu sekaligus, tetapi bertahap dan dengan alasan yang jelas, pertama menikah untuk mengangkat kualitas pesantren dimasa medatang, kedua menikah untuk memelihara hubungan antar berbagai lembaga pesantren agar ikatan kedua pesantren menjadi lebih kuat.

Dari hasil pernikahannya, Hasyim Asy'ari di karuniai beberapa putra dan putri diantaranya : satu anak dari istri Nafisah bernama Abdullah, empat anak dari istri Masrurah bernama Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya‟qub, sepuluh anak dari istri Nafiqah bernama Hannah, Khairiyyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak, Abdul Wahid (Wahid Hasyim), Hafidz, Abdul Karim (Akarhanaf), Ubaidillah, Masrurah, Muhammad Yusuf.

Masa Kecil, Remaja dan Dewasa Hasyim Asy'ari

Masa kecil Hasyim Asy‟ari sebagaimana layaknya anak-anak lain tumbuh, yang membedakan hanya lingkungan dimana ia tumbuh yaitu pesantren Gedang yang diasuh kakeknya (kiai Usman), ia di pesantren tersebut berkisar antara umur 1-5 tahun. Pada tahun 1876 M bertepatan pada umur 6 tahun, ia ikut ayahnya (kiai Asy'ari) hijrah ke keras (daerah sebelah selatan Jombang), dan mendirikan pesantren di tempat tersebut.

Bahkan ketika berumur 13 tahun, Hasyim Asy'ari sudah berani menjadi guru dan mengajar santri yang tak jarang lebih tua darinya. Keberanian Hasyim Asy'ari bukan tanpa alasan, sebab sejak kecil ia sudah di didik oleh orang-orang yang berilmu dan setiap waktu ia berada pada lingkungan pendidikan Islam, hal tersebut jelas memberikan pengaruh terhadap keilmuan dan kepribadiannya.

Apa yang di biasakan Hasyim Asy'ari pada masa kecilnya terbawa ke masa remajanya, yaitu gemar mempelajari ilmu agama Islam. Pada umur 15 tahun, ia memulai petualangan baru dalam menuntut ilmu yaitu belajar ilmu agama di pesantren, sekurang-kurangnya 5 pesantren ia kunjungi yang berada di Jawa dan Madura.

Tibalah Hasyim Asy'ari pada sebuah pondok pesantren yang berada di Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh kiai Ya'qub. Di pesantren inilah Hasyim Asy'ari diminta menikah dengan anaknya pak kiai Ya‟qub yang bernama Khadijah. Pernikah tersebut bisa terbilang masih dini yaitu ketika ia berumur 21 tahun atau pada tahun1891M.

Seluruh hidup Hasyim Asy'ari di habiskan untuk mengabdi menyebarkan agama Islam, perkembangan pendidikan dan kemerdekaan Indonesia. Kehidupan kesehariannya dipenuhi dengan kegiatan dakwah dan mengajar di pondok pesantren yang ia dirikan. Sesekali ia juga disibukkan dengan organisasi perkumpulan para ulama sejawa Timur dan Jawa Tengah yang disebut organisasi keagamaan Nahdlatul ulama yang mana ia menjabat sebagai Rais Am periode 1926 M -1947M dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dari berbagai uraian di atas dapat diketahui bahwa Hasyim Asy'ari selama hidupnya berada dalam lingkungan pesantren. Yang nantinya pengaruh-pengaruh tradisi yang berlaku di pesantren menjadi bagian dari pemikiran-pemikiran dalam pendidikan Islam.

Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy'ari.

Pendidikan Hasyim Asy‟ari terbagi menjadi dua periode yaitu periode Indonesia (Pesantren) dan periode Makkah. Dengan mengetahui latar belakang pendidikan Hasyim Asy‟ari, diharapkan nantinya mampu memberikan pencerahan terkait dengan pemikirannya tentang kepribadian guru.

a. Periode Indonesia (Pesantren)
Muhammad Hasyim Asy'ari merupakan pribumi asli Indonesia. Pendidikannya dimulai sejak berada di pesantren milik kakeknya yaitu kiai Usman. Rentan umur 1-5 tahun, ia di rawat dan di didik oleh kakeknya. Pada tahun 1876, ia belajar dasar-dasar agama Islam kepada ayahnya (kiai Asy'ari) di pondok pesantren yang di dirikan oleh ayahnya sendiri hingga sampai usia 15 tahun. Hasyim Asy'ari merupakan santri yang cerdas, ia selalu menguasai apapun yang di ajarkan ayahnya dan me-muṭāla’ah dengan membaca sendiri kitab-kitab yang belum pernah di ajarkan oleh guru dan ayahnya. Karena alasan terakhir inilah, ia mampu mengajar bahasa arab dan pelajaran-pelajaran agama pada tingkat dasar terhadap para santri lain, ketika ia masih berusia 13 tahun, yakni pada tahun 1883.

Pada usia 15 tahun, ia memulai petualangan guna memperdalam ilmu agama Islam, ia melanjutkan pendidikan di berbagai pondok pesantren, tidak kurang dari 5 pesantren yang ia kunjungi, khususnya yang ada di Jawa Timur dan Madura. Perjalanannya untuk ṭalab al ‘ilmi di mulai dari menjadi santri di pesantren Wonorejo, kemudian singgah di pesantren Wonokoyo Probolinggo, dilanjutkan ke pesantren Langitan Tuban dan pesantren Trenggilis Surabaya. Perjalanan Hasyim Asy'ari dalam mencari ilmu tidak sampai di situ saja, ia melanjutkan ke pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura di bawah asuhan kiai Khalil yang dikenal sangat alim, ia belajar di Madura selama lima tahun dengan disiplin ilmu sastra arab, fiqh dan sufisme. 

Perpindahan Hasyim Asy'ari dari satu pesantren ke pesantren lain di latar belakangi banyaknya berbagai disiplin ilmu yang menjadi karakteristik pesantren tertentu, setiap pesantren memiliki spesialis ilmu tersendiri. Pesantren Termas di Pacitan terkenal dengan „ilm al ‘alah (struktur dan tata bahasa arab serta literatur arab dan logika), pesantren Bangkalan Madura terkenal dengan ilmu tasawuf, pesantren Jampes (Kediri) di kenal luas pesantren tasawuf. Setelah lima tahun belajar di Bangkalan Madura, Hasyim Asy‟ari kembali ke Jawa Timur dan melanjutkan belajar ke pesantren Siwal an Panji, Sidoarjo di bawah bimbingan kiai Ya'qub, untuk belajar fiqh selama 2 tahun. Setelah itu, ia melanjutkan belajar ke Makkah, tempat sumber ilmu keislaman.

b. Periode Makkah
Pendidikan Hasyim Asy'ari tidak berhenti di bumi kelahirannya, ia melanjutkan belajar ke negara sumber ilmu keislaman, yaitu Makkah. Menuntut ilmu ke Makkah merupakan dambaan setiap santri pada waktu itu, hal itu karena beberapa alasan yaitu :
  • Makkah merupakan tempat lahirnya agama Islam dan pertemuan kaum muslimin disaat musim haji.
  • Di Makkah banyak terdapat sejumlah ulama internasional, sebagian dari mereka ada yang berasal dari Indonesia dan memiliki geneologi keilmuan yang tidak terputus dengan kiai-kiai di pondok pesantren di Indonesia.
  • Dalam penilaian masyarakat, bahwa seseorang yang memiliki pengalaman belajar ilmu di Makkah, mereka akan mendapatkan pengakuan dan posisi terhormat di masyarakat.


Sewaktu Hasyim Asy'ari belajar di Makkah, ia berjumpa dengan beberapa tokoh yang selanjutnya di jadikan sebagai guru dalam berbagai disiplin ilmu agama Islam. Diantara guru Hasyim Asy'ari yaitu syaikh Mahfudz al Tirmisi, ia adalah ulama Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari di Makkah. Ia belajar banyak tentang hadits Shahih Bukhari dari syaikh Mahfudz al Tirmisi, dari gurunya inilah Hasyim Asy'ari mendapat ijazah untuk mengajar kitab Shahih Bukhari. Selain belajar hadits, Hasyim Asy'ari juga belajar Thoriqot Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah kepada syaikh Mahfudz.

Selain belajar hadits, Hasyim Asy'ari juga belajar fiqh mazhab Syafi‟i di bawah bimbingan syaikh Ahmad Khatib, yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab) dan al jabar (al-jabr). Hasyim Asy'ari juga berguru kepada sejumlah tokoh yang terkemuka di Makkah, seperti syaikh Abdul Hamid al-Durustani, syeikh Muhammad Syuaib al Magribi, syeikh Ahmad Amin al-Athor, sayyid Sultan bin Hasyim, sayyid Ahmad ibn Hasan al-Atthar, syaikh Sayyid Yamani, sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, syaikh Saleh Bafadhal, dan syeikh Sultan Hasyim Dagastani. Kiai Hasyim belajar di Makkah selama tujuh tahun, pada tahun 1899 M, ia pulang ke Indonesia untuk mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Dan pada akhirnya Hasyim Asy‟ari menguasai berbagai macam ilmu seperti fiqih, hadis, tasawuf dan thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Kiprah KH. Hasyim Asy'ari dalam Pendidikan di Indonesia

Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang mendapat tempat di masyarakat adalah pesantren. Kata Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di depan dan akhiran an yang mempunyai arti tempat tinggal para santri. Prof. Jhons berpendapat bahwa istilah santri dari bahasa tamil yang artinya guru mengaji, sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Sedangkan kata shastri berasal dari istilah shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.

Pesantren merupakan istilah tempat pendidikan yang berada di pulau Jawa, di Sumatra Barat di kenal dengan istilah surau, di Aceh sering disebut dengan istilah meunasah, rangkang dan dayah. Meskipun penyebutannya beda-bada, tetapi esensinya tetap sama yaitu lembaga tempat mengaji dan mendalami ajaran-ajaran agama Islam.

Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren Tebuireng Jombang, desa yang di pandang hitam untuk menyebarkan ilmu dan agama. Masyarakat Tebuireng pada saat itu mengalami perubahan nilai akibat penanaman tebu dengan sistem sewa, yang akhirnya melahirkan kebiasaan berjudi, mabuk-mabukan, perzinaan dan perampokan. Keadaan inilah yang menarik Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di tempat tersebut. Dan pesantren Tebuireng resmi berdiri pada tahun 1899 M/ 1324 H. Hasyim Asyari menyatakan :
Menyebarkan agama Islam berarti meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Jika manusia sudah mendapat kehidupan yang baik, apalagi yang harus di tingkatkan dari mereka? Lagi pula, menjalankan jihad berarti menghadapi kesulitan dan mau berkorban, sebagaimana yang telah dilakukan rasul kita dalam perjuangannya.

Pesantren Tebuireng awal mulanya hanya terbuat dari sebuah teratak (rumah), yang luasnya cuma beberapa meter bujur sangkar. Rumah tersebut kemudian di bagi menjadi dua, yaitu untuk tempat tinggal Hasyim Asy‟ari dan tempat ibadah. Seiring dengan berkembangnya waktu, teratak yang awalnya hanya satu menjadi bertambah, hasil dari kerja bakti para santri yang pada waktu itu baru berjumlah 28 santri. Pemandangan seperti ini kiranya masih berlaku sampai sekarang, banyak rumah pengasuh pondok pesantren bersebelahan dengan tempat ibadah dan pemondokan para santri. Hal ini di maksudkan agar pengasuh pondok pesantren dapat mengontrol keadaan santri dengan mudah dan bisa kapanpun di lakukan.

Tidak lama setelah pesantren Tebuireng didirikan, banyak santri berdatangan untuk belajar ilmu agama Islam di pesantren tersebut. Keberhasilan Hasyim Asy'ari dalam berdakwah lewat pesantren tidak lepas dari kepribadiannya yang kharismatik dan luhur, tetapi juga nilai spiritual yang tinggi, karamah (keistimewaan yang dimiliki oleh para wali).

Sebagaimana yang di ungkapkan James Fox (seorang Antropolog dari Australian Nation University) dalam Suwendi menyatakan :
Jika kiai pandai masih dianggap wali, ada satu figur dalam sejarah Jawa yang dapat menjadi kandidat untuk peran wali. Ia adalah ulama besar, Hadratus Syekh kiai Hasyim Asy'ari [Hasyim Asy'ari]...memiliki ilmu dan dipandang sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengtahuinya, Hasyim Asy„ari semasa hidupnya menjadi pusat yang menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap memiliki keistimewaan luar biasa. Menurut garis keturunannya, tidak saja ia berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan prabu Brawijaya.

Dalam membesarkan pesantren Tebuireng, Hasyim Asy‟ari mendapat banyak dukungan dan bantuan dari para ulama dan Kiai, seperti kiai Alwi, kiai Ma‟sum, kiai Baidlawi, kiai Ilyas dan kiai Wahid Hasyim.

Zamaksyari Dhofir dalam bukunya Tradisi Pesantren, menjelaskan bahwa pesantren Tebuireng memiliki 16 hektar tanah yang terbagi menjadi tiga blok yang terpisah. Blok pertama berisi bagunan pesantren Tebuireng dengan luas kurang lebih 2 hektar. Blok kedua berupa gedung olah raga bagi santri untuk menyalurkan hobi dan menjaga kebugaran jasmani. Blok ketiga berwujud persawahan yang luasnya kurang lebih 9 hektar. Blok yang terakhir ini merupakan sumber pembiayaan pesantren. Blok pertama dan ketiga merupakan wakaf dari Hasyim Asy'ari, sedangkan blok kedua di beli oleh pesantren.

Layaknya lembaga pesantren pada masa itu, metode pengajarannya pun mengikuti zaman, yaitu mengunakan sistem sorogan dan bandongan. Sorogan adalah metode pengajaran dengan cara santri menghadap guru satu persatu dengan membawa kitab yang sedang di pelajari. Bandongan atau wetonan adalah metode pengajaran dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai. Metode sorogan dan bandongan digunakan pesantren Tebuireng antara 1899-1916 M. Pada tahun 1916 M, kiai Maksum yang tidak lain merupakan menantu pertama kiai Hasyim Asy'ari, ia mulai memperkenalkan sistem madrasah di pesantren Tebuireng dan pengajaran ilmu pengetahuan umum pada tahun 1919 M.

Pada tahun 1919 M, pesantren Tebuireng melakukan pembaharuan sistem, yaitu dengan membuka madrasah salafi sebagai tangga untuk memasuki jenjang pendidikan menengah. Pada tahun 1929 materi pelajaran tidak hanya berkutat dengan ilmu agama saja, akan tetapi ditambah dengan ilmu pengetahuan umum yaitu :
  • Membaca dan menulis huruf latin.
  • Mempelajari bahasa Indonesia.
  • Mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia
  • Mempelajari ilmu berhitung.


Pesantren Tebuireng merupakan pesantren yang sukses dalam melaksanakan pendidikan Islam. Kesuksesan tersebut bisa dilihat dari kualitas santrinya, dan banyak santri lulusan pesantren Tebuireng yang menjadi tokoh nasional dan beberapa menjadi ulama terkenal seperti KH. Wahid Hasyim (Mantan Menteri Agama), KH. Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke 4), KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH As'ad Syamsul Arifin, dan KH Achmad Siddiq.

Karya-Karya KH. Hasyim Asy'ari

Data mengenai karya Hasyim Asy'ari di peroleh dari dokumentasi Ishomudin Hadziq yang diberi nama Irsyadus Sari. Hasyim Asy'ari merupakan seorang ulama dan pemikir Islam yang begitu tajam pengamatannya dalam memahami kondisi masyarakat, hal ini terbukti dari berbagai karya yang tidak sedikit diberikan kepada masyakat. Dengan harapan masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai Islam dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup yang semakin rumit.

Hasyim Asy'ari merupakan ulama yang cukup produktif dalam menulis. Tulisan Hasyim Asyari tidak hanya terfokus pada satu disiplin ilmu tertentu, tetapi mencakup berbagai macam disiplin ilmu, seperti fiqih, tasawuf dan hadits, dan sampai saat ini sebagian kitabnya masih di pelajari diberbagai lembaga pendidikan di Indonesia.
Adapun karya-karya Hasyim Asy'ari sebagai sebagai berikut :

  • Adāb Al ‘Ᾱlim Wa Al Muta‘allim, membahas tentang akhlak murid dan guru serta hal-hal yang berkaitan dengan keilmuan.
  • Risālah Ahlu Al Sunnah Wa Al Jamā‘ah Fī Bayān Al Musamāh Bi Ahli Al Sunnah Wa Al Jamā‘ah, membahas tentang beragam topik seperti membahas kematian, tanda-tanda kiamat, arti sunnah dan bidah dan sebaainya.
  • Al Tibyān Fi al Nahyi an Maqāṭi’ati al Arhām wa al Ikhwān. membahas tentang pentingnya silaturrahmi dan larangan memutuskannya.
  • Muqaddimah al Qānūn al Asāsiyyi Li Jami’iyyah Nahḍah al ‘Ulamā’, membahas tentang pemikiran dasar NU, terdiri dari ayat-ayat al quran, al hadis dan pesan-pesan penting yang melandasi berdirinya organisasi NU.
  • Risālah Fi Ta’kīd al Akhżi Bi Mażāhib al Aimmah al Arba’ah. Membahas tentang pentingnya berpedoman kepada empat madzhab, yaitu Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali.
  • Al Mawā‘iẓ. Membahas tentang nasihat-nasihat untuk menyelesaikan problem yang muncul di tengah masyarakat.
  • Al Arba‘īna Ḥadīṡan Nabawiyyan Tata‘allaq Bi Mabādi’ Li Jamī‘iyyah Nahḍah al ‘Ulamā’. Membahas 40 hadis tentang ketaqwaan dan kebersamaan dalam hidup, yang harus menjadi fondasi bagi umat dalam mengarungi kehidupan.
  • Al Nūr al Mubīn Fi Maḥabbah Sayyid al Mursalīn. Membahas tentang arti cinta kepada nabi Muhammad saw dengan mengikuti dan menjalankan sunnahnya.
  • Ziyādah al Ta’līqāt ‘Alā Manẓūmah al Syaikh ‘Abdullah Yāsin al Fāsuruwāni . Berisi catatan tambahan terhadap syair syaikh Abdullah bin Yasin dari Pasuruan. Kitab ini berisi bantahan Hasyim Asy‟ari terhadap kritikan-kritikan Syeikh Abdullah Bin Yasin terkait organisasi Nahdhatul Ulama yang merupakan wadah cendikiawan muslim dalam menanggapi berbagai persoalan agama.
  • Tanbīhāt al Wājibāt Liman Yaṣna’ al Maulid Bi al Munkarāt. Berisi tentang nasihat penting bagi orang yang merayakan kelahiran nabi muhammad dengan menjalankan hal-hal yang dilarang oleh agama. Kitab ini di tulis sebagai reaksi keras KH. Hasyim Asy‟ari atas praktik peringatan maulid nabi Muhammad yang menyimpang dari tuntunan syariah.
  • Ḍau’ al Miṣbāh Fi Bayān Aḥkām an Nikāḥ. Membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, mulai dari aspek hukum, syarat, rukun hingga hak-hak dalam pernikahan.
  • Al Manāsik al Ṣugrā Li Qāṣidi Ummi al Qurā. Menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan haji dan umrah.
  • Jāmi’ah al Maqaṣid Fi Bayān Mabādi’ al Tauḥīd Wa al Fiqh Wa al Taṣawwuf Lil Murīd. Menjelaskan tentang dasar-dasar akidah islamiyaah dan usul al ahkam bagi orang mukallaf untuk mencapai jalan tasawwuf dan deradjat wusul ila Allah.
  • Al Jāsūs Fi Bayān Aḥkām an Nāqūs. Menerangkan hukum memukul kentongan ketika masuk waktu shalat.

Selain karangan tersebut, masih terdapat karya yang masih dalam bentuk manuskrip dan belum diterbitkan diantara yaitu Al Durār al munqaṭirah fi al masāil tis‘a ‘asyarah (berisi tentang mutiara-mutiara sembilan belas masalah), Al risālah al tauḥīdiyyah (catatan tentang teologi), Al Qalā‘id fī Bayān mā Yajibu min al ‘Aqā‘id (berisi syair-syair yang menjelaskan kewajiban-kewajiban aqidah).

Wafat KH. Hasyim Asy'ari

Hasyim Asy'ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 / 7 Ramadhan1366, bertepatan pada pukul 03.45 wib. Beberapa jam sebelum Hasyim Asy'ari wafat, tepatnya pukul 21.00 wib, ia sempat memberikan pelajaran kepada santri. Akan tetapi, baru saja pelajaran dimulai datanglah tamu utusan dari jenderal Sudirman dan bung Tomo serta Ghufron (tokoh masyarakat) dari Surabaya, dengan tujuan menyampaikan surat penting dari bung Tomo. Setelah membaca surat tersebut, ia meminta waktu semalam untuk berfikir lebih lanjut dan lebih tenang. Kebiasaan para kiai pada umumnya, apabila mendapatkan permasalah yang pelik, kiai tidak akan mengambil keputusan secara terburu-buru ataupun gegabah, akan tetapi melaksanakan istikharah terlebih dahulu guna memohan keterangan, kepastian dan petunjuk kepada Allah atas masalah yang dihadapi.

Sesaat setelah menyampaikan surat, Ghufron mengambarkan situasi yang terjadi pada waktu itu kepada Hasyim Asy'ari, berkenaan dengan agresi 1 militer Belanda di Singosari (Malang) yang menelan banyak korban. Setelah mendengarkan berita tersebut, tiba-tiba Hasyim Asy'ari berujar “Masya Allah, Masya Allah” Seraya memegang kepalanya, dan pingsan di tempat duduk. Penyakit beliau adalah hersen bloeding (pendarahan otak dengan tiba-tiba). Kemudian dokter angka di panggil dan langsung memeriksa keadaan Hasyim Asy‟ari, tepat pada pukul 03.45 wib, Hasyim Asy‟ari menghembuskan nafas terakhirnya. Bertepatan pada tanggal 25 juli 1947/ 7 ramadhan 1366.

Kiprah dan Perjuangan Hasyim Asy’ari Dalam Mewujudkan Kemerdekaan Indonesia Dan Agama Islam Kalau berbicara tentang Hasyim Asy'ari pasti yang terlintas dibenak kita adalah organisasi keagamaan Nahdhatul Ulama. Ia adalah pencetus dan Rais „am pertama Nahdatul Ulama. Nahdatul Ulama' berdiri 31 Januari 1926 M di Jawa Timur. Alasan Hasyim Asy'ari mendirikan organisasi Nahdhatul ulama' adalah akibat dari tindakan penguasa baru Arab Saudi yang berfaham wahabi telah berlebihan dalam menerapkan program pemurnian agama Islam, seperti menggusur petilasan sejarah Islam, membongkar makam pahlawan Islam dengan dalih mencegah kultus individu, melarang mengikuti madzhab empat dan harus mengikuti mahdzhab wahabi. Bahkan mereka juga melarang kegiatan mauludan, bacaan berzanji, dibaan dan sebagainya.

Seluruh kehidupan Hasyim Asy'ari di dedikasi untuk perkembangan umat Islam dan persatuan bangsa. Berdirinya organisasi Nahdatul ulama bukan semata-mata untuk mencari popularitas dan kekuasaan semata. Lebih dari itu, organisasi Nahdatul ulama berusaha mempertahankan nilai-nilai tradisional Islam yang selama ini di ikuti yang sudah mulai tergerus dengan adanya pemikiran-pemikiran modern. Nilai- nilai tradisional yang di pandang oleh sejumlah kalangan merupakan ajaran dan metode yang sukses di lakukan oleh walisongo sudah mulai di usik kemapanannya. Oleh sebab itu, Hasyim Asy‟ari dan sejumlah ulama di Jawa Timur dan Jawa Tengah membuat organisasi yang berusaha melestarikan ajaran tradisional dan tetap bernafaskan ahlus sunnah wal jamaah. Hal tersebut berhasil dan sampai sekarang organisasi ini menjadi salah satu organisasi terbesar di Indenesia.

Hasyim Asy'ari juga di pandang sebagai salah seorang tokoh yang berjasa dalam mempertahankan Indonesia, berkat jasa-jasanya melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy'ari di anugrahi gelar pahlawan kemerdekan oleh presiden Republik Indonesia, tetapi ia menolaknya. Hasyim Asy‟ari takut kalau menerima gelar pahlawan niatnya berubah, karena memang tujuan ia membela tanah air bukan karena ingin mendapat penghargaan atau gelar pahlawan.

Hasyim Asyari memang tidak kontak fisik secara langsung melawan penjajah, tetapi pengaruh dan posisinya sebagai ulama besar dalam memberikan fatwa jihad memerangipenjajah menjadi pelecut semangat para santri dan rakyat untuk jihad membela Islam dan Indonesia. Selain itu, Hasyim Asy‟ari juga menjadi tempat minta pendapat atau rujukan bagi para pemimpin perang saat itu, seperti bung Tomo dan jendral Sudirman tatkala dalam bertindak dan meminta pendapat dalam menghadapi permasalahan.


Rujukan:

  1. Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH Hasyim Asyari, (Yogyakarta: LkiS, 2000). 
  2. Syamsul Kurniawan Dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011),
  3. Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009).
  4. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.
  5. Badiatul Roziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: E-Nusantara, 2009),
  6. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
  7. Syamsul Kurniawan Dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).
  8. Aboe Bakar, Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim (Bandung: Mizan Pustaka, 2011).
  9. Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain Ke Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2006).
  10. Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).

Subscribe to receive free email updates: